The New Page
Bahuku terasa digoyang dan terdengar bisikan lembut di telingaku,
“Udah sampai ni di Terminal Sudi*man Ki, siap-siap turun yu, betewe kamu tidurnya pules pisan.. Abis nyangkul ya kang?? Hihihi!”
Kubuka mataku perlahan, rupanya kami sudah sampai di terminal Suk*bu*i, tidak banyak bus lalu lalang, aku menyusul di belakang teh Indri dan kedua anaknya. Tanganku ditariknya lembut mengikuti langkah kakinya, diam-diam kuperhatikan wanita yang kian hari aku merasa kalau dia bukan lagi teh Indri yang binal dan impulsif.
Aura kebinalannya seperti menghilang perlahan sejak peristiwa sabtu malam itu…
Digantikan oleh sosok wanita baru yang malah memancing rasa penasaranku…Tanpa bisa kutahan, aku sudah menemukan diriku berdiri disamping bus Bud*man jurusan Bandung – Suk*bu*i, dengan tiket ditanganku!
Anyway..
Sekarang aku sudah ada di kota ini, sudah terlanjur basah sekalian aja nyelem! Hehehe! Tidak lama hape teh Indri berbunyi, dengan sedikit gugup dia menerima panggilan yang masuk ke hapenya,
“Halo? Abah? Indri tos di terminal bah, ko ga ada yang dateng ngejemput si??”
Wajahnya terlihat gusar, dia sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang cukup ssrius.. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain bermain dengan Laras dan Praapta. Aku sempat melirik teh Indri yang masih on-line. Penampilannya jauh berbeda dengan yang selama ini sering kulihat..
Dia terlihat lebih.. hmm.. apa ya.. sederhana.
Aura kebinalannya seperti menghilang perlahan sejak peristiwa sabtu malam itu…
Digantikan oleh sosok wanita baru yang malah memancing rasa penasaranku…Tanpa bisa kutahan, aku sudah menemukan diriku berdiri disamping bus Bud*man jurusan Bandung – Suk*bu*i, dengan tiket ditanganku!
Anyway..
Sekarang aku sudah ada di kota ini, sudah terlanjur basah sekalian aja nyelem! Hehehe! Tidak lama hape teh Indri berbunyi, dengan sedikit gugup dia menerima panggilan yang masuk ke hapenya,
“Halo? Abah? Indri tos di terminal bah, ko ga ada yang dateng ngejemput si??”
Wajahnya terlihat gusar, dia sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang cukup ssrius.. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain bermain dengan Laras dan Praapta. Aku sempat melirik teh Indri yang masih on-line. Penampilannya jauh berbeda dengan yang selama ini sering kulihat..
Dia terlihat lebih.. hmm.. apa ya.. sederhana.
“Hayu Ki, kita naik Bus aja, mumpung masih ada.” Dengan raut wajah kesal dia menggendong Laras lalu memberiku isyarat untuk mengikutinya, kami naik ke sebuah bus 3/4 tanpa AC!
GREAT! JUST GREAT!
“Teh.. Emang kita mau kemana lagi? Ini kan dah sampe..”
GREAT! JUST GREAT!
“Teh.. Emang kita mau kemana lagi? Ini kan dah sampe..”
Kata-kataku terhenti saat mendapat hadiah pelototan mata yang sedingin es.. T_T
Kami berempat mendapat tempat duduk paling belakang, dengan sukses aku kembali tertidur sebelum kernet menggoyangkan bahuku untuk meminta ongkos. Setelah kuberikan selembar uang kertas bergambar Sukarno lalu melirik ke arah teh Indri yang pandangannya seakan menerawang ke luar jendela.. Hmm… Lagi mikirin apa ya si teteh..
Kami berempat mendapat tempat duduk paling belakang, dengan sukses aku kembali tertidur sebelum kernet menggoyangkan bahuku untuk meminta ongkos. Setelah kuberikan selembar uang kertas bergambar Sukarno lalu melirik ke arah teh Indri yang pandangannya seakan menerawang ke luar jendela.. Hmm… Lagi mikirin apa ya si teteh..
Kami sampai di sebuah pertigaan lalu teh Indri memanggil sang kernet untuk menghentikan kendaraan, daerahnya cukup sejuk untuk ukuran jam 2 siang, kami berempat turun dan langsung disambut suara seorang wanita setengah baya yang tergopoh-gopoh menghampiri kami. Meskipun sudah tampak garis-garis halus di sekitar pipi dan keningnya, tapi tidak salah lagi, wajah itu seperti fotokopi dari Teh Indri!
Bener-bener ni DNAnya ternyata emang oke..
Bener-bener ni DNAnya ternyata emang oke..
“Laraaas, sini peluk nenek! Duh udah gede ajah kamu Praapta, mamah kamu sehat??”
Teh Indri berdiri di sampingku, dia tersenyum simpul melihat ibunya sedang berpelukan dengan kedua anaknya, matanya terlihat berkaca-kaca saat menoleh ke arahku.
Disandarkannya kepalanya ke lenganku, aku hanya bergerak refleks merangkulnya dengan harapan bisa sedikit meringankan bebannya..
Disandarkannya kepalanya ke lenganku, aku hanya bergerak refleks merangkulnya dengan harapan bisa sedikit meringankan bebannya..
“EHEM.. jadi ini pengganti suamimu Neng?”
Suara itu berasal dari belakang kami.. Kami berdua sama-sama menoleh ke belakang, seorang pria paruh baya dengan perut tambun dan uban terlihat menutupi kepalanya. Pria itu terlihat seperti Ded*y Mi*war minus kumis!
“Abah apaan si! Ini temen eneng bah, ikut nganter eneng kesini.”
Teh Indri menarik tangan pria yang dia panggil abah tadi dan mencium tangannya.
“Ini bapaknya teteh?? Kirain tadi artis yang jadi Nagabonar! Hahahaha!”
Celotehan ngawurku sukses mendapat reaksi dingin dari bapak-anak itu.. Tanpa pikir panjang aku ikut salim dengan si abah lalu meminta maaf ke fotokopi Nagabonar dihadapanku! Hehehe!
Kami naik ke mobil APV silver yang sudah menanti kami di depan sebuah minimarket berlambang huruf A, masih sekitar setengah jam perjalanan melewati jalanan yang cukup rusak dengan lubang disana sini, akhirnya kami sampai di sebuah desa bernama Cikanteh. Kami masuk ke sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang cukup luas, udaranya sejuk dan ada sedikit bau garam khas daerah pantai.
Lamat-lamat terdengar suara deburan ombak menyapa telingaku, aku menarik nafas dalam-dalam lalu masuk ke dalam rumah mengikuti teh Indri, ruang tamunya sederhana tapi tertata rapi, di dinding aku melihat foto-foto terpajang rapi, salah satunya gambar seorang anak perempuan memakai kostum penari yang sedang memegang sebuah piala.
Aku nyengir selebar-lebarnya, memanggil teh Indri sambil menunjuk ke arah foto penari cilik itu! Wehehehehe!
“Apaa! Itu teteh emang, dah cantik dari dulunya kaaan?? Hihihi!”
Kami naik ke mobil APV silver yang sudah menanti kami di depan sebuah minimarket berlambang huruf A, masih sekitar setengah jam perjalanan melewati jalanan yang cukup rusak dengan lubang disana sini, akhirnya kami sampai di sebuah desa bernama Cikanteh. Kami masuk ke sebuah rumah sederhana dengan pekarangan yang cukup luas, udaranya sejuk dan ada sedikit bau garam khas daerah pantai.
Lamat-lamat terdengar suara deburan ombak menyapa telingaku, aku menarik nafas dalam-dalam lalu masuk ke dalam rumah mengikuti teh Indri, ruang tamunya sederhana tapi tertata rapi, di dinding aku melihat foto-foto terpajang rapi, salah satunya gambar seorang anak perempuan memakai kostum penari yang sedang memegang sebuah piala.
Aku nyengir selebar-lebarnya, memanggil teh Indri sambil menunjuk ke arah foto penari cilik itu! Wehehehehe!
“Apaa! Itu teteh emang, dah cantik dari dulunya kaaan?? Hihihi!”
Aku ga tahan untuk ngegodain.. “Iya teh, cantikan dikit sekarang teh.. Tapi banyakan dulu sih..”
“BUUKKH!” sebuah bantal kursi telak mendarat diwajahku..
Disusul gelak tawa Laras dan Praapta, hadeeh…
Disusul gelak tawa Laras dan Praapta, hadeeh…
“Hayu nak Riki istirahat dulu, pasti cape di perjalanan kan, Ibu mau ngobrol sebentar sama Indri.”
Meskipun aku tidak mengantuk, aku tahu diri dan pamit menuju kamar yang ditunjukkan Neneknya Laras, kuhenyakkan tubuhku di kasur kecil dengan alas dipan itu. Sempat kukirim pesan singkat ke Nita mengabarkan posisiku, dan tidak lupa berpesan untuk menelepon teh Indri untuk sekedar memastikan.
Minggu depan aku akan melangsungkan akad nikah, aku tidak ingin calon istriku berpikir macam-macam. Tanpa terasa aku tertidur lelap..
Minggu depan aku akan melangsungkan akad nikah, aku tidak ingin calon istriku berpikir macam-macam. Tanpa terasa aku tertidur lelap..
*****
“Ki.. Bangun sayang.. Udah mau maghrib ni.. Pamali tidur sampe jam segini..”
Aku mengerjap-erjapkan mataku dan melihat teh Indri sedang duduk di pinggir dipan, dia mengenakan sebuah daster tipis berwarna biru muda yang cukup pendek!
Instingku mengambil alih, tanpa bisa kutahan bibirku bergerak mencium bibir ranum yang sudah lama kurindukan!
Instingku mengambil alih, tanpa bisa kutahan bibirku bergerak mencium bibir ranum yang sudah lama kurindukan!
“Addduuuuduuuhh! Sakit teeh!”
Ciumanku dihentikan dengan cubitan pedas di pahaku, dia sendiri hanya tersenyum simpul dengan wajah yang merona merah, damn.. Kenapa jadi cute gini dia..
“Dasar mesum.. Hihihi! Dah sana mandi! Bau ih kamu.. Teteh ga mau ah dicium cowo bau! Hehehe!” Sambil berkata seperti itu dia melenggang meninggalkanku yang masih menggosok-gosok pahaku yang perih dan mataku yang tidak berkedip melihat goyangan pantatnya!
Hmm… Situasi yang sangat menarik Komandan! apa langkah kita selanjutnya?!
Aku mendengar suara Jendral Otong dan melirik ke bawah perutku dan mendapati ajudanku itu sedang mengangguk-angguk riang..
Aku mendengar suara Jendral Otong dan melirik ke bawah perutku dan mendapati ajudanku itu sedang mengangguk-angguk riang..
“We will see Jendral.. We will see..”
End Of 2nd part
Tidak ada komentar:
Posting Komentar