Until the sun sets in the east..
Then.. we can embrace each other again..
Then.. we can embrace each other again..
One Last Time
Bunyi klakson bus-bus yang keluar masuk terminal Cahe*m begitu memekakkan telinga, mataku berusaha mencari loket bus Budi*an yang dulu biasa kunaiki saat masih kuliah. Akhirnya berhasil kutemukan dan kubawa kedua anakku keloket itu, kupesan dua kursi karena kupikir aku bisa menggendong Laras nantinya. Kusampirkan tas kecil berisi beberapa baju yang sempat kubawa, lalu kuajak kedua anakku menunggu saat keberangkatan bus di kursi panjang yang tersedia di depan loket.
Pikiranku melayang jauh mengenang kembali kejadian beberapa bulan ke belakang.
Tidak bisa kupungkiri kehadiran Riki di dalam hidupku bagai pedang bermata dua..
Di satu sisi dia memberiku sebuah kebebasan mengeksplor sisi liar diriku..
Tapi di sisi lain, keluargaku hancur..
Kini hanya Laras dan Praapta harta paling berhargaku satu-satunya. Mobil dan hampir semua perhiasan simpananku habis kujual. Sepasang anting emas yang masih menggantung di telingaku saja yang tidak kujual..
Pamali kata ibuku kalau seorang perempuan tidak memiliki perhiasan..
Aku mengelap peluh yang membasahi keningku dengan punggung tangan, matahari sepertinya sedang dalam good mood hari ini. Huuufff…
Tidak bisa kupungkiri kehadiran Riki di dalam hidupku bagai pedang bermata dua..
Di satu sisi dia memberiku sebuah kebebasan mengeksplor sisi liar diriku..
Tapi di sisi lain, keluargaku hancur..
Kini hanya Laras dan Praapta harta paling berhargaku satu-satunya. Mobil dan hampir semua perhiasan simpananku habis kujual. Sepasang anting emas yang masih menggantung di telingaku saja yang tidak kujual..
Pamali kata ibuku kalau seorang perempuan tidak memiliki perhiasan..
Aku mengelap peluh yang membasahi keningku dengan punggung tangan, matahari sepertinya sedang dalam good mood hari ini. Huuufff…
“Mih, kita mau kemana si? Ko jalan kaki?? Kan bisa naik mobil kita mih??”
Laras bertanya kepadaku sambil menarik-narik ujung blus yang kupakai.
Tenggorokanku tercekat, aku hanya bisa tersenyum semanis yang kubisa padanya sambil mengulur waktu sebisaku memikirkan jawaban yang tidak mengundang pertanyaan lebih jauh, tapi..
Tenggorokanku tercekat, aku hanya bisa tersenyum semanis yang kubisa padanya sambil mengulur waktu sebisaku memikirkan jawaban yang tidak mengundang pertanyaan lebih jauh, tapi..
Aku tidak bisa menjawab..
“Mobil kita lagi diservis de.. Makanya kita sekarang jalan kaki, kan kita bisa naik angkot, ini dipake lagi topinya, tar item loh! Hehehe!”
Anak kelas 3 SD yang menyelamatkanku..
Praapta memakaikan topi bergambar karakter favorit Laras di film Fro*en. Anak sulungku itu mendongakkan kepalanya, aku tertangkap basah sedang memandangnya dengan butiran air mata yang sudah menitik keluar.
Dia tumbuh dewasa secepat ini..
Terlalu cepat.
Praapta memakaikan topi bergambar karakter favorit Laras di film Fro*en. Anak sulungku itu mendongakkan kepalanya, aku tertangkap basah sedang memandangnya dengan butiran air mata yang sudah menitik keluar.
Dia tumbuh dewasa secepat ini..
Terlalu cepat.
Terdengar pengumuman yang memberitahukan bahwa bus Budi*an yang kubeli tiketnya tadi, akan segera berangkat, buru-buru kuseka pipiku, kupegang erat tangan anak-anakku saat berjalan menuju bus yang terparkir berderet dengan bus-bus lain.
Bus itu memiliki dua macam deret kursi didalamnya.
Kami mendapat tempat di kursi yang berderet tiga, para penumpang sudah menempati tempat duduknya masing-masing, sepertinya kami bertiga yang terakhir naik.
Praapta kududukkan di dekat jendela, Laras ditengah dan aku dipinggir, aku merasa kami cukup beruntung karena tidak ada yang membeli tiket untuk kursi terakhir ini.
Kami mendapat tempat di kursi yang berderet tiga, para penumpang sudah menempati tempat duduknya masing-masing, sepertinya kami bertiga yang terakhir naik.
Praapta kududukkan di dekat jendela, Laras ditengah dan aku dipinggir, aku merasa kami cukup beruntung karena tidak ada yang membeli tiket untuk kursi terakhir ini.
“Maaf, kalo menurut tiket yang saya punya, ini kursi saya Teh..”
Teh?? Sepertinya aku kenal panggilan itu..
Suara itu.. Suara sengau yang sempat mengisi hari-hari gilaku..
Kepalaku menoleh ke arah sang empunya suara..
Suara itu.. Suara sengau yang sempat mengisi hari-hari gilaku..
Kepalaku menoleh ke arah sang empunya suara..
“Riki… Kamu ngapain.. Ko tau teteh disini? Siapa yang..”
Masih banyak deretan pertanyaan yang masih akan kulontarkan, tapi semuanya lenyap hilang tak berbekas saat kedua lengan kekar itu memelukku..
Senyumnya yang selalu tulus, pelukannya yang erat.. Wangi tubuhnya yang tidak terlalu wangi, hanya sedikit wangi after-shave yang menggelitik indera penciumanku..
Membawaku kembali ke malam saat kami..
Senyumnya yang selalu tulus, pelukannya yang erat.. Wangi tubuhnya yang tidak terlalu wangi, hanya sedikit wangi after-shave yang menggelitik indera penciumanku..
Membawaku kembali ke malam saat kami..
“Ooom Ikiiiiiii! Laras kangeeen! Ikutan peluuk!”
Praapta hanya tertawa melihat tingkah adiknya yang memeluk kami berdua. Riki melepaskan pelukkannya dan memberikan pelukan spesial ke putriku, tidak lupa mencubit pipinya yang semakin hari semakin gembil itu.
“Iiiih! Jangan dicubit pipi akuuuh, tar kata mamih jatoh loh pipinyaaa! Weee!”
Kami bertiga tertawa lepas setelah mendengar celotehan Laras, beberapa penumpang juga ikut tersenyum mendengarnya.
****
Bus itu merayap menyusuri jalanan daerah Cibiru yang sepertinya tidak mengenal kata lain selain macet! Huh.. Kupandangi Riki yang pandangannya seperti jauh menerawang..
Nekat sekali anak ini menyusulku dengan dalih ingin mengantarku pulang..
“Jangan tinggalin teteh lagi Ki..” Aku berbisik sepelan mungkin saat Laras dan Praapta sudah terlelap. Laki-laki disebelahku hanya memandangku dengan raut wajah sedih..
Nekat sekali anak ini menyusulku dengan dalih ingin mengantarku pulang..
“Jangan tinggalin teteh lagi Ki..” Aku berbisik sepelan mungkin saat Laras dan Praapta sudah terlelap. Laki-laki disebelahku hanya memandangku dengan raut wajah sedih..
“Teh.. Aku.. Emm… Aku..”
Tanpa pikir panjang kukecup bibirnya, Riki terdiam, matanya terus tertuju ke arahku.
Kami berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih yang baru kasmaran.
Kucubit pelan lengannya,
Kami berpegangan tangan layaknya sepasang kekasih yang baru kasmaran.
Kucubit pelan lengannya,
“Teteh hereeuy Rikiii honeeey.. Kamu kan dah mo nikah.. Hihihi”
Riki menundukkan wajahnya, kali ini bahkan aku melihat sekilas matanya berkaca-kaca..
Ga tega juga mau godain dia lebih lanjut.. Hehehe..
Kurangkul lengannya dan kutempelkan buah dadaku ke lengannya yang terasa tegang..
Ga tega juga mau godain dia lebih lanjut.. Hehehe..
Kurangkul lengannya dan kutempelkan buah dadaku ke lengannya yang terasa tegang..
“Udah dooong cemberutnya, teteh suruh supirnya turunin kamu tar loh di nagrek! Hihihi!” Kucubit lagi lengannya sambil kupasang senyum paling manis untuk pangeran gelapku itu.
“Uhmm.. Teh..” Jemari tangannya yang panjang itu menggenggam tanganku..
Kubalas genggamannya dengan remasan lembut.. “Kenapa Ki..”
“Aku sengaja nyusul teteh biar aku bisa anter teteh ke rumah, walaupun kita jauh aku pasti akan jemput teteh nantinya, aku bakal bujuk Nita biar teteh ama anak-anak teteh bisa tinggal bareng aku dan Nita. Aku bisa..” Kutekan bibirnya dengan jari telunjukku..
“Shuuusshh.. Udah Ki.. Udah..jangan bikin teteh tambah sedih..” Dengan lembut kuelus pipinya sambil menatap wajah Riki, matanya masih berkaca-kaca..
“At least let me have you as my man for one day Ki.. Please??”
End of 1st act.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar