- -Pada hari yang sama Saat Luthfi bertemu Mira, Mira diminta Mang Trimin datang ke kantor untuk membicarakan rencana negosiasi proyek dengan Walikota. Mira pergi sendirian dan langsung menuju kantor Mang Trimin. Viola sekretaris Mang Trimin yang biasanya duduk di satu Table di luar kantor tidak ada.
“Non Mira sudah ditunggu,” terdengar kata-kata seorang lelaki.Gairah sex
Di luar kantor Mang Trimin juga ada Jaka yang, seperti biasa, tidak jelas apa kerjaannya di sana. Dialah yang memberitahu bahwa Mira sudah ditunggu. Melihat Mira datang, Jaka nyengir dan tersenyum mesum ke arah Mira. Yang membuat Jaka rada kaget, Mira membalas dengan senyum dan kerling genit. Jaka memperhatikan penampilan Mira yang tampak menarik dalem keTable lengan panjang abu-abu dan rok pendek hitam. KeTablenya ketat. Jaka berani sumpah, dia yakin Mira tak sedang memakai bra kerana dia melihat pentil Mira mencuat di balik bahan kaos itu…
“Aqu masuk ya…” kata Mira sembari menoleh ke Jaka dan melangkah menuju pintu.
Jaka lantas merasakan semua darah ke tubuhnya mengalir menuju bawah perut. Tak tahan dia dengan keseksian Mira yang menggodanya.
“Permisi…” Mira mengucap salam Saat masuk. Begitu dia masuk, dia melihat pemandangan tak biasa.
Ada dua wanita yang sedang berada di kanan kiri Mang Trimin. Mang Trimin sendiri berada dalem keadaan berantakan, keTablenya terbuka sehingga dadanya yang sudah keriput Tampak, mulutnya terengah-engah, keringat menitik di wajahnya. Mira mengenali salah seorang dari dua wanita itu sebagai Viola, sekretaris Mang Trimin, seorang wanita berkacamata, berhidung mancung, berambut megar sebahu. Tetapi Viola bukan sedang mengenakan pakaian kantor seperti biasa, melainkan tank top ketat berbelahan rendah dan rok mini. Make-upnya juga lebih tebal dari biasa.
“Selamat pagi, Mbak Mira,” sapa Viola.
Wanita satunya lagi Mira tidak kenal. Dan dia jelas sedang tidak memakai pakaian orang kantoran. Nyaris tidak berpakaian, malah. Cuma pakaian dalem berenda dan bra pink. Wanita itu nyengir konyol Saat melihat ada yang datang, dan dia Tampak membungkuk di samping Mang Trimin, tangannya seperti memegang sesuatu di pangkuan Mang Trimin. Rambutnya dicat merah, ukuran dadanya tampak terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping. Riasan menor menutupi wajahnya yang Tampak lebih tua daripada Mira dan Viola. bibir merah, bulu mata palsu, alis ditato.
“Ka dieu, Neng,” panggil Mang Trimin dengan suara lirih, seperti orang kecapekan.
Sebenarnya adegan yang sedang berlangsung di sana sangat tidak wajar, kerana sedang ada dua wanita berpakaian seksi merubung Mang Trimin. Mira sendiri heran dan dia melangkah maju pelan-pelan, tetapi begitu tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Mang Trimin yang tetap tajam, dia merasa tidak perlu ke mana-mana.
Saat semakin dekat, Mira jadi bisa melihat apa yang sedang dilaqukan Viola dan si rambut merah. Pakaian Mang Trimin terbuka, kemaluannya tegak, dan kedua wanita itu sedang membelai-belainya. Tetapi si rambut merah sesekali menjepit bagian pangkal batang dan menekan daerah di bawah buah kemaluan Mang Trimin. Rupanya itu semacam cara untuk mencegah ejaqulasi. Agaknya Mang Trimin sedang menjalani “terapi” untuk mengatasi masalah ejaqulasi dini-nya. Mira terpaqu, tak tahu mesti berbuat apa. Dia memang dipanggil oleh Mang Trimin, tetapi apa maunya Mang Trimin? Viola berdiri dan membuka satu laptop yang ada di Table, lalu duduk di atas Table sembari menyilangkan kaki.
“Duduk, Mbak Mira,” kata Viola sembari menunjuk kursi di depan Table Mang Trimin.
Mang Trimin terengah-engah, sepertinya keenakan kemaluannya dikocok, kadang meringis kerana ejaqulasinya dibatalkan pencetan jari si rambut merah. Mira duduk dan pandangannya mengikuti tangan Viola yang menunjuk layar laptop. Di situ ditayangkan beberapa tabel dan presentasi terkait proyek yang sedang diperebutkan perusahaan mereka dengan perusahaan-perusahaan milik dua orang yang Mira temui di party Walikota.
Viola menjelaskan situasi terbaru dan rincian tender proyek kepada Mira. Wajah Mira berkerut selagi mengikuti penjelasan Viola, tanpa menghiraukan Mang Trimin yang asyik sendiri. Viola selesai memberi penjelasan dan Mira merasa cukup mengerti tentang semua hitungan dan rencana yang dijabarkannya. Mang Trimin ikut bicara,
“Tetapi, ada yang lebih penting lagi, Mira.” Mang Trimin lalu menyentuh lengan si rambut merah.
“Monty…” kata Mang Trimin, menyebut nama si rambut merah.
“Kenalan dulu, Mbak Mira… Aqu Monty,” katanya. Monty langsung mendekati Mira, lalu meminta Mira berdiri.
Monty mengamati sekujur tubuh Mira, berjalan mengelilingi Mira sembari pandangannya naik turun.
“Mantap…” kata Monty sembari tiba-tiba meremas bokong Mira.
“Aih!!?” Mira kaget.
“Bahenol juga ya… pantesan cuma kamu yang dimau’in,” kata Monty. Mira tidak mengerti maksudnya.
“Biasanya Aqu yang ditugasin untuk bantu lobby pejabat,” kata Monty lagi,
“atau anak buah Aqu. Tetapi buat yang satu ini emang susah dari dulu. Dia pilih-pilih bingit. Kalau sembarang orang, pasti ditolak. Tetapi kalau Mbak Mira pasti bisa deh.”
“Ah… Maksudnya?”
“Pak Walikota maunya si Neng,” kata Mang Trimin.
“Biasanya Mamang minta bantuan Monty atau kawan-kawannya, tetapi ternyata ga ada yang cocok ama Pak Walikota. Emang dia seleranya lain, ga mau sama yang biasa, maunya sama yang luar biasa kayak Neng Mira.”
“Tetapi… kenapa harus Aqu? Kan mestinya sama aja…” tanya Mira.
Monty tertawa. Viola menahan ketawa. Mang Trimin bicara.
“Mira, dengerin Mamang yah. Mira sudah lihat yang ditunjukin Viola tadi kan. Kamu tahu seberapa bernilai proyek itu buat perusahaan kita ini? Besar bingit, dan semua berharap kita bakal dapat. Barangkali kamu belum tahu, untuk proyek-proyek sebesar itu biasanya kita sebagai pengusaha mesti ngejalin hubungan baik sama orang-orang yang pegang kuasa pejabat dan semacamnya itu lah. Selama ini kerja Mang di perusahaan ini ya seperti itu. Nah, buat proyek ini, kita perlu persetujuan dari Pak Walikota. Makanya kita perlu Neng Mira. Soalnya, Pak Walikota sudah sering ngasih petunjuk, salah satu yang paling dia harapin itu adalah bisa ada hubungan baik dengan Neng Mira.”
Sesudah mendengar penjelasan Mang Trimin yang dibungkus-bungkus itu Mira masih tetap belum mengerti. Ganti Monty yang bicara.
“Biasanya, Mbak Mira, Aqu ngurus bagian entertain dalem lobi proyek,” kata Monty.
“Yah kita udah tahu lah, pejabat pasti minta bagian. Bisa uang, fasilitas, hadiah. Udah biasa juga kalau kita nyediain hiburan juga. Pejabat itu kebanyakan lelaki kan. Nah yang namanya lelaki pastinya suka yang prety-prety, jadi Aqu yang biasa nyediain. Cuma… Pak Walikota ini agak susah. Dari dulu emang gitu dia. Bukannya dia sok alim atau ga suka yang prety-prety sih. Tetapi emang seleranya maunya yang susah. Aqu udah coba nyodorin yang tua, yang muda, yang masih perawan, tetapi semuanya ditolak sama dia. Pusing kan kita mikirnya.”
“Nah,” sambung Mang Trimin,
“Sebelum party kemarin itu Mang kan sering ketemu Pak Walikota buat ngomongin ini proyek. Pak Walikota kalau ketemu Mamang seriiing bingit nanyain, mana Neng Mira, kok nggak dibawa. Mang tahu sih Pak Walikota udah perhatiin kamu dari dulu. Mang juga udah jelasin status kamu. Tetapi kelihatannya sih Pak Walikota maunya cuma sama kamu.”
Tahu-tahu, Monty sudah merangkul dan menggerayangi Mira.
“Mbak Mira cakep bingit deh,” ujar Monty sembari satu tangannya meremas bokong Mira lagi.
“Pantes aja Pak Walikota cuma maunya sama Mbak Mira. Cakep, indah lagi. Bener-bener high class. Aqu aja jadi minder ngelihat Mbak.”
Andai pikiran Mira masih normal, mungkin dia akan berusaha mengelak begitu tahu arah kata-kata Mang Trimin. Tetapi tidak… Mira yang sekarang bukan lagi Mira yang polos, malu-malu, dan konservatif.
Sejak Pandan mengubah penampilannya, Mang Trimin dan Dr Lorencia mengacak-acak pandangannya, dan berbagai pengalaman berpetualang dilaluinya, kepribadian Mira berubah. Dia tak lagi merasa perlu membatasi dirinya dengan hanya menyerahkan tubuhnya kepada suaminya yang sah. Dia sudah tahu bahwa kenikmatan tubuh bisa didapat dari mana saja, dan buat dia itu tak salah. Dia tetap seorang istri, tetapi dia tak ubahnya seorang lonte juga.
Dia tak lagi sungkan berhubungan seks dengan semua orang. Monty yang berposisi di belakang Mira kini menyandarkan mukanya ke bahu Mira, menghirup wangi rambut Mira dan meremas buah dada Mira. Mira mendesah sebagai reaksi gerakan Monty itu. Viola tetap duduk di atas Table, sementara Mang Trimin juga tetap duduk di kursinya tanpa merapikan pakaiannya.
“Makanya… Tolong yah, Neng?” pinta Mang Trimin.
Mira tak bisa konsentrasi kerana digerayangi terus oleh Monty. Mang Trimin menyambung,
“Peran seperti ini cuma Neng yang bisa.”
Mira berpikir sebentar, wajahnya berkerut, tetapi dengan cepat dia mencapai kesimpulan.Gairah sex
“Iya, Mang. Mira siap.”
Mang Trimin tersenyum lebar. Monty bertepuk tangan.
Mira tersenyum nakal.
“Omong-omong, Mang lagi ngapain sih, kok telanjang?” tanyanya.
Mang Trimin tertawa mendengar Mira bicara seperti itu, tak sungkan dan tak malu-malu.
“Ini Mang lagi terapi, hehehe,” kata Mang Trimin.
“Dibantuin Monty…”
“Terapi kejantanan, …hihihi,” Monty menimpali.
“Mbak Mira mau ikutan gabung?”
“Boleh juga,” tanpa diduga Mira setuju,
“Hitung-hitung latihan… Ih si Mamang udah tegang gitu…”
Mira mendekat ke arah Mang Trimin. Melihat itu, Viola dan Monty juga bergerak, sehingga Mang Trimin kini dikelilingi tiga wanita prety. Seperti raja dengan selir-selirnya saja.Tidak seperti sebelumnya, kali ini Mira dengan sadar siap menyerahkan diri dan menggoda Mang Trimin, lelaki tua pembantu orangtuanya yang sudah dikenalnya dengan baik sejak kecil itu. Sebenarnya sejak ditinggal Luthfi, Mira agak frustrasi kerana kebutuhan seksnya tidak ada yang melayani. Makanya Saat dia digarap Dr Loren dan Jaka-Restu beberapa hari lalu, sebenarnya dia melayani dengan suka rela, asalkan bisa mengecap kenikmatan.
“Coba kita lihat hasil terapi tadi…” kata Monty, lalu tiba-tiba dia mendekati Mira dan kembali menggerayangi.
Viola terpikir untuk meramaikan suasana, jadi dia menuju laptopnya dan mulai memutar musik dance. Dia kemudian mendekati Mira dan Monty sembari bergoyang ikut irama. Monty juga ikut-ikutan, sembari menggerak-gerakkan tubuh Mira, mengajak Mira ikut dance. Mira terbawa juga, mulai meliuk-liukkan tubuhnya yang indah.
Mang Trimin jadi ngiler melihat tiga wanita prety bergoyang aduhai di depannya. Viola dan Monty bergerak luwes seperti sudah biasa ajojing. Monty apalagi, dia yang sejatinya bekerja jadi agen cewek panggilan dan penari tanggal baju setelah sebelumnya malang melintang di dua profesi itu, sudah kenyang pengalaman memikat hati dan tubuh lelaki lewat goyang tubuhnya. Mira saja yang agak kaqu.
“Mbak Mira yang prety… Kita buka yah?” Monty bergoyang sambul memeluk Mira dari belakang, dan mengatakan itu sembari meraba tubuh Mira.
Monty melepas satu-satu kancing keTable Mira.
“Uhh…” Mang Trimin melenguh Saat melihat apa yang tampak di balik keTable abu-abu Mira.
Tadi waktu di luar, Jaka mengira Mira tidak memakai bra kerana bisa melihat pentil Mira mencuat di balik keTable. Ternyata itu benar, dan sekarang Mang Trimin melihat sepasang buah dada sintal Mira.
“Wuaaah… berani bingit ya Mbak Mira…” puji Monty sembari membelai-belai buah dada Mira.
“Nggak nyangka dari tadi sudah nggak pake beha!” Memang Mira dari tadi tak memakai bra. Dari rumah. Dan sepanjang perjalanan, dia terangsang kerana menikmati pandangan orang-orang yang tergiur kepretyannya. Monty membantu Mira melepas keTablenya sehingga Mira pun akhirnya berdiri topless di depan Mang Trimin yang mulai kelabakan.
“Aduh… duh meni geulis Neng Mira…” keluh Mang Trimin.
Mira melangkah maju mengikuti hentakan irama musik dari laptop Viola ke hadapan Mang Trimin. Mang Trimin tetap duduk, kemaluannya yang dari tadi ereksi mengacung ke depan. Mira menjulurkan tangan dan menadah bagian bawah batang kejantanan Mang Trimin yang tak seberapa besar. Satu tangannya lagi bertumpu di paha Mang Trimin selagi dia membungkukkan tubuh, membuat kedua susunya bergelantungan. Mira menengadahkan muka, mulutnya terbuka, matanya liar dan lapar. Saat bekerja di rumah orangtua Mira dulu, Mang Trimin mengingat Mira sebagai wanita kecil yang manis dan polos. Kesan manis dan polos itu kini sudah hilang, tertutup ekspresi seksi dan binal.
Wajah wanita kecil yang diingat Mang Trimin itu kini berubah, dengan bibir merah penuh, pipi merona, mata tajam berhias warna. Mira mengerling, menjilat bibir, menggoda Mang Trimin. Jemarinya membelai halus kemaluan Mang Trimin. Mang Trimin sudah tak perlu lagi menggunakan ilmunya. Wajah Mira merambat dari dekat selangkangan Mang Trimin ke dada Mang Trimin, dan Mira mulai menjilat dan mengisap putting Mang Trimin. Mang Trimin kemudian melihat wajah mesum Mira sudah berada tepat di depan wajahnya, bibir Mira bertemu bibirnya, dan lidahnya disedot Mira yang dengan ganas menciumnya.
Mana tahan Mang Trimin! Benihnya yang sudah dari tadi berhasil ditahan meski menghadapi Viola dan Monty, langsung memaksa keluar. Rangsangan dari Mira, tangan dan wajah dan aksi, memicu ejaqulasi.
“Auhhh…” keluh Mang Trimin lirih, hasil terapi ejaqulasi dini-nya langsung buyar seSaat di tangan Mira, membuat cairan kental tersembur mengotori floor di depan kursi. Mira segera melepas ciumannya dan tersenyum sinis.
“Mang… Payah deh ah… Masa’ udah keluar…” kata Mira.
Mang Trimin yang masih terengah-engah sesudah keluar tanpa perlu memasukkan kemaluannya ke mana-mana itu masih mendapat hiburan berupa kesenangan kecil, dari kata-kata nakal Mira barusan.
Dia telah berhasil merusak Mira. Kini Mira pun menjadi satu lagi wanita baik-baik yang dijadikannya binal. Lelaki tua itu terengah-engah lelah. Tetapi puas. Puas sekali.
“Belum juga masuk, mana enak… Mira bikin bangun lagi, ya, Mang?” kata Mira dengan suara menggoda.
Suara musik dance dari laptop Viola masih membahana, sehingga bagian dalem kantor itu seperti diskotik saja rasanya. Mira kembali bergoyang seksi, kali ini dia menarik Viola yang dari tadi diam saja. Viola mengerti dan keduanya pun menari sensual di depan Mang Trimin. Benar-benar posisi Mang Trimin ibarat seorang raja zaman dulu, dirubung selir-selirnya, menikmati pertunjukan tari yang menawan hati di depan mata. Tetapi kemaluannya kisut lemas sesudah dibuat muncrat Mira tadi. Mira memeluk Viola dalem posisi berhadapan, sembari menoleh ke arah Mang Trimin dan mengerling nakal.
“Mang, lihat nih,” kata Mira sembari menggerayangi Viola.
Sekretaris Mang Trimin itu mendesah-desah Saat Mira mencupang lehernya, menyibak rambut tebalnya.
“Ahh… uh… ah…” desah Mira seksi selagi tangannya mencengkeram rambut Viola dan memaksa si sekretaris menyedot dan mengenyot pentilnya.
Monty berkomentar,
“Boleh juga nih! Ikutan dong! Ayo kita bikin si Mamang bangun lagi!” dan langsung membuka kaitan bra-nya sembari menari-nari. Dia ikut topless seperti Mira, Sayang buah dadanya sudah mulai turun dan berpentil gelap, tubuhnya memang mulai kalah dengan tubuh Mira dan Viola yang lebih muda.
Monty tidak mendekati Mira dan Viola yang bercumbu, malah dia mendekati Mang Trimin.
“Mang masih suka aqu gini’in kan…” kata Monty yang kemudian berlutut di depan selangkangan Mang Trimin, kemudian mulai memasukkan kemaluan yang masih lemas itu ke dalem mulutnya. Sebagaimana banyak wanita di sekeliling hidup Mang Trimin, Monty juga dulu dirusak oleh Mang Trimin. Namanya sekarang, Monty, adalah perubahan nama aslinya yang berarti cahaya di suatu tempat indah bagi mkemaluansia-mkemaluansia budiman kelak; Monty aslinya seorang wanita taat dari keluarga miskin dengan kampung halaman di pulau seberang, yang suatu hari datang membawa CV dan surat lamaran ke kantor Mang Trimin demi mendapat penghidupan lebih baik. Sayang, bibir sensualnya yang polos menarik perhatian lelaki mesum berilmu gendam itu, sehingga, seperti kupu-kupu tersangkut jaring laba-laba, Monty pun terjerat. Menjelang akhir wawancara pertama, pakaiannya yang sopan telah bertebaran di floor kantor, bagian-bagian tubuhnya yang biasa tak dia tunjukkan untuk sembarang orang sudah terungkap semua, dan bibir tebalnya yang polos namun sensual ternoda cairan kelelakian Mang Trimin.
Monty diterima bekerja di kantor Mang Trimin, dengan jabatan resmi sebagai asisten namun pekerjaan sebenarnya adalah menjadi salah satu wanita penghibur pelancar negosiasi. Kehidupannya pun berubah, dia mulai memakai baju minim dan berdandan seksi sehingga memicu masalah dengan keluarganya yang konservatif. Namun jiwanya sudah dicengkeram Mang Trimin sehingga dia malah memilih melupakan keluarganya. Terjerumuslah Monty ke dunia hitam dan dia pun sepenuhnya berkecimpung di sana, sesudah cukup berpengalaman, dia mulai coba-coba mengajak wanita-wanita muda untuk mengikuti jejaknya melacur. Kini sudah sepuluh tahun sejak Monty pertama kali masuk ke kantor itu dengan harapan mendapat pekerjaan.
Monty terus mengisap, kepalanya maju-mundur sekujur kemaluan Mang Trimin yang masih tetap lemas, sembari matanya menatap penuh harap ke orang yang telah menggelapkan hidupnya. Monty tak pernah merasa benci kepada Mang Trimin; bertahun-tahun sudah berlalu dan cengkeraman mental Mang Trimin sudah sirna, tetapi Monty sendiri sudah pasrah dengan jalan hidupnya. Kepala Monty semakin terbenam ke selangkangan Mang Trimin, bibir dan lidahnya kini menggarap buah kemaluan lelaki tua itu. Dulu sekali, Mang Trimin yang melihat indahnya bibir Monty memutuskan untuk membuat wanita itu menjadi ahli memuaskan lelaki dengan bibirnya. Jadi sepanjang Monty bekerja di bawah Mang Trimin, Mang Trimin sering menyuruh Monty menyervis dengan bibirnya, dan melatih Monty agar mau berbuat apa saja dengan bibir seksinya itu.
Maka sekarang Monty mempraktikkan hal-hal yang diajarkan Mang Trimin kepadanya: dia menciumi dan menggigit-gigit soft bagian pangkal paha Mang Trimin, mengulum dan menjilati biji, memuja seluruh selangkangan itu dengan bibirnya yang merah. Mang Trimin mengerang keenakan, tangannya memegang belakang kepala Monty, memberi tanda kepada Monty untuk melanjutkan. Monty melanjutkan pelan-pelan, tahu bahwa Mang Trimin yang sudah tidak muda lagi itu tak akan cepat pulih. Mukanya terbenam di antara dua sisi pangkal paha dan di bawah kemaluan Mang Trimin, lidahnya melejit menyusuri ke bawah, dari dasar kantong biji Mang Trimin terus ke bawah, menuju dubur lelaki tua itu.
Ujung lidah Monty bergerak ke kanan-kiri dan menyapu lubang dubur Mang Trimin, kemudian naik lagi sampai menjilati bagian belakang buah kemaluan Mang Trimin. Monty tak jijik sama sekali melaqukan itu. Selama beberapa menit Monty terus menggarap kemaluan, buah kemaluan, dan lubang dubur Mang Trimin. Tetapi Monty sendiri terangsang berat dengan aksinya sendiri itu. Lagi-lagi itu ajaran Mang Trimin; kerana mau mengeksploitasi bibir Monty, maka dulu Mang Trimin menanamkan sugesti bahwa Monty bisa terangsang apabila dia sedang meng-oral lelaki. Mang Trimin sendiri merasa keenakan sampai-sampai dia tidak bisa berdiri, kerana memang di antara kemaluan dan dubur ada titik sensitif yang berkali-kali dirangsang Monty, tetapi kejantanannya belum juga bangun. Monty menoleh dan melihat Mira dan Viola sudah saling membugili. Dia memanggil kedua wanita yang lebih muda itu supaya tidak asyik sendiri. Kemudian Monty menunjuk ke satu sofa di samping Table kerja Mang Trimin, yang bersandar ke tembok.
Viola dan Monty membantu Mang Trimin berdiri, dan lelaki tua itu tertatih-tatih lemas dipapah dua wanita prety ke sofa. Begitu Mang Trimin duduk lagi, Monty kembali berlutut di depannya, sementara Viola duduk di sebelahnya, menjulurkan tangan dan mengelus-elus kemaluan Mang Trimin yang masih juga ngadat. Dengan Mang Trimin dikerubungi seperti itu, di mana posisi Mira? Mira melangkah naik ke sofa, berdiri mengangkangi pangkuan Mang Trimin.
“Mang,” kata Mira,
“lihat nih… memekku…”
Mang Trimin membelalak. Dalem posisi seperti itu, bagian bawah perut Mira tepat berada di depannya, dan tangan Mira meraih ke bawah merentang kemaluannya sampai bagian dalemnya yang berwarna pink dan basah Tampak. Mira menjolokkan jarinya sendiri ke dalem, meraba kemaluannya sendiri.
“Ayo Mang… bikin Mira enak Mang… Jilatin memek Mira Mang…” pinta Mira. Melihat Mang Trimin kewalahan kerana bagian bawah tubuhnya diurusi Monty dan Viola, Mira berinisiatif sendiri, menyodorkan kewanitaannya langsung ke muka Mang Trimin sementara tubuhnya merapat ke tembok di belakang sofa.
“Haohhh! Ayo jilatin Mang! Terus Mang!” jerit Mira selagi lidah Mang Trimin memasuki kemaluannya.
Mira mulai memain-mainkan buah dadanya sendiri. Sekali-sekali dia berseru,
“Terus jilatin,” dan
“Entot Mira Mang” sementara nafasnya memburu.
Setelah dirangsang terus, kewanitaan Mira mulai mengeluarkan cairan sehingga bibir Mang Trimin pun basah belepotan, tetapi Mira tak peduli, dia terus memaksakan memeknya mendesak muka orang yang dulu dihormatinya itu. Lama sekali ketiga wanita itu berusaha membangkitkan kejantanan lelaki yang telah merusak mereka. Mungkin sampai setengah jam. Monty merangsang di dekat kemaluans, Viola mengocok serta menjilati batang kemaluan, sementara Mira menyodorkan kemaluannya untuk dilalap Mang Trimin.
“Sudah naik lagi nih!” teriak Viola girang sesudah dia melihat kemaluan Mang Trimin akhirnya keras lagi.
Di antara ketiga wanita yang ada di sana, Viola-lah yang saat ini paling sering menjadi pasangan seks Mang Trimin, kerana kedekatannya sebagai sekretaris. Aslinya Viola mulai bekerja di perusahaan itu di bagian lain, tetapi suatu hari dia dipindah menjadi sekretaris Mang Trimin. Mang Trimin langsung mengacak-acak hidup Viola begitu wanita berkacamata berhidung mancung itu jadi bawahannya, sedikit demi sedikit: pertama, Viola dibuat tak lagi tertarik dengan pacarnya, sehingga pemuda malang itu akhirnya diputus oleh Viola. Kemudian Viola yang aslinya berpenampilan tomboy dipengaruhi sehingga berubah, dulu Viola berambut pendek dan biasa mengenakan pakaian panjang ke kantor, sekarang Viola memelihara rambutnya jadi panjang dan megar, dan dia selalu memakai rok mini dan sepatu hak tinggi. Dan Mang Trimin juga membuat Viola jadi mudah cepat orgasme, kerana Mang Trimin ingin sekretarisnya itu bisa puas walau disetubuhi hanya beberapa menit. Kalau Viola susah puas, bisa-bisa dia tidak setia dan mencari-cari kenikmatan dari orang lain. Sementara itu kemampuan kerja dan sikap dingin Viola tetap seperti semula.
Nah, seperti yang sudah dijelaskan, oleh Mang Trimin, Monty dibuat mudah terangsang apabila sedang melayani lelaki dengan bibirnya, sementara Viola dijadikan cepat mendapat orgasme. Keduanya sedari tadi tidak diam saja. Viola sempat mengalami orgasme kecil Saat tadi digerayangi Mira, sementara Monty memainkan lidahnya di selangkangan Mang Trimin sembari bermasturbasi dan menuju klimaks. Sementara Mira tidak juga puas walau sudah memaksa Mang Trimin menjilati kemaluannya.
“Mira, Mira, kamu naikin Mang, sekarang!” pinta Mang Trimin. Mira mengerti, dia langsung menurunkan tubuhnya menyambut tegak kembalinya kejantanan Mang Trimin. Kemaluan Mang Trimin yang sedang tegak itu diarahkan oleh Viola ke arah belahan kemaluan Mira. Mira yang mengangkangi selangkangan Mang Trimin pelan-pelan menurunkan tubuh sehingga masuklah kemaluan tua itu ke dalem belahan kewanitaannya yang basah. Tetapi memang punya Mang Trimin tidak sebesar kemaluan banyak orang yang pernah dicobanya. Jadi “kurang berasa” untuk Mira. Ekspresi wajahnya tak berubah Saat dimasuki batang Mang Trimin. Monty ikut nimbrung, dia mengalihkan perhatian ke bokong Mira. Saat lidah Monty mulai menyapu belahan bokong Mira, Mira merinding.
Mira mulai menaikturunkan tubuhnya, menjepit kejantanan Mang Trimin dengan kemaluannya, sembari menciumi wajah Mang Trimin. Suara desahannya tak sebegitu intens, jelas kerana dia masih belum puas dengan ukuran barang yang mempenetrasinya. Tetapi ereksi yang diusahakan dengan susah payah sampai setengah jam itu tidak bertahan lama. Mang Trimin mengeluarkan suara mengeluh panjang dan beRestukulasi di dalem kemaluan Mira, setelah hanya empat-lima kali digenjot Mira. Semprotan maninya cepat berhenti, dan kemaluannya cepat sekali melemas dan kisut. Umur tak bisa dibohongi, sang perusak wanita itu tak lagi jantan, tiga wanita seksi merubungnya pun disia-siakan begitu saja.Gairah sex
“Heh?… Yaaah… Kok cepet lagi keluarnya? Aaahhh…” Mira merajuk.
“Aduh… maafin Mamang,” kata Mang Trimin yang lemas.
Tubuhnya yang tua itu terasa capek sekali; dua kali orgasme dalem waktu singkat sangat menguras tenaga. Mata Mang Trimin jadi sayu, dan dia jadi merasa mengantuk. Dan kepalanya terasa berkunang-kunang. Tanpa dapat menahan, Mang Trimin tertidur…
“Haahhh… malah tidur… Iiihh… “ keluh Mira. Viola merangkulnya dan membantunya turun dari pangkuan Mang Trimin.
“Sudah… Mbak Mira, biarin aja Bapak istirahat, jarang bingit dia bisa ngecrot sehari dua kali dalem waktu berdekatan gitu. Sekarang Mbak Mira pulang aja ya? Penjelasannya kan udah, Mbak Mira juga udah tahu apa yang harus dilaqukan,” bujuk Viola.
Viola dan Monty mengajak Mira ke kamar mandi kecil di dalem kantor itu, lalu mereka bertiga membersihkan diri dengan shower, Mira mencuci kemaluannya. Cairan yang dikeluarkan Mang Trimin di dalem dirinya hanya sedikit. Sesudahnya mereka mengeringkan diri dan berpakaian lagi. Saat akan meninggalkan ruangan, Mira menengok ke Mang Trimin yang tertidur. Kedua “selir”nya—Viola dan Monty, memakaikan kembali baju dan pakaian Mang Trimin. Mira tersenyum melihat Mang Trimin yang menganga mulutnya dan ngorok Saat ketiduran di sofa, juga Saat melihat betapa perhatiannya Viola dan Monty kepada Mang Trimin. Entah apa yang dipikirkan keduanya terhadap lelaki tua yang telah mengubah hidup mereka itu.
Benci? Dendam? Acuh? Atau malah Sayang? Mira melangkah keluar dengan tak puas. Sekali lagi dia melewati Jaka yang duduk menumpangkan kaki di Table, dan kembali dia melirik genit ke arah Jaka. Sayangnya Jaka terlalu pengecut untuk menanggapi ajakan Mira itu. Padahal dia bisa saja jadi pelampiasan Mira yang tidak sempat dibikin puas oleh Mang Trimin. Tetapi kerana Jaka tidak berani berinisiatif, maka dia cuma bisa gigit jari. Mira pulang sembari mengingat-ingat penjelasan mengenai perannya dalem negosiasi tender mendatang. Dia perlu menggunakan tubuhnya untuk meyakinkan Pak Walikota. Pesan itu, tanpa diucapkan jelas oleh Mang Trimin maupun Viola dan Monty, sudah tertanam di kepala Mira. Dan Saat Mira berbaring malam itu, tubuhnya yang belum terpuaskan membuat dia sulit tidur. Besok dia akan menghadap Pak Walikota, dan dia berharap Pak Walikota tidak punya masalah ejaqulasi dini seperti Mang Trimin…
Saat Mira dan Pandan bersekolah di SMA yang sama dulu, berbeda dua angkatan, keduanya dikenal sebagai kembang di sekolah itu. Kedua wanita yang orangtuanya saling kenal itu sama-sama jelita, namun tipe kepretyan mereka berbeda. Pandan selalu bergaya, glamor, dan menggoda; Mira polos, malu-malu, dan bersahaja. Tak heran sejak dulu mereka berdua tidak pernah kehabisan perhatian dari lelaki, mulai dari sesama siswa sampai orang-orang lebih tua. Mira tidak pernah menanggapi kerana dulu dia menganggap belum waktunya dia pacaran.
Sedangkan Pandan beredar dari satu lelaki ke lelaki lain, menikmati kekaguman dan cinta mereka. Kedua wanita prety itu akhirnya menjadi saudara ipar, dipertalikan lewat pernikahan Mira dengan Luthfi adik Pandan, namun keduanya juga jadi bersahabat, berbagi suka dan duka, saling membela dan menjaga. Pagi-pagi Pandan sudah ditelepon Mira yang minta dirias dan didandani untuk suatu acara. Mira awalnya tidak cerita acara apa, tetapi di tengah pembicaraan Saat dirias Pandan berhasil mengorek sedikit-sedikit apa yang mau dilaqukan adik iparnya.
“Omong-omong, ada acara apa, kok tengah minggu begini?” Pandan mengulik.
“Aqu diminta bantu negosiasi tender proyek sama Mang Trimin,” kata Mira.
“Tetapi kenapa persiapannya kayak mau ke resepsi? Sampai pake kebaya segala…”
“Diminta Mang Trimin,” kata Mira sembari tersipu malu,
“Mau ketemu orang penting…”
Pandan tidak bertanya lagi, tetapi dia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Dia tahu apa yang Mang Trimin pernah laqukan kepada Mira, dan dia tahu persis reputasi Mang Trimin, tetapi dia tak menyangka Mira akan terjerumus sedemikian jauh. Pandan tidak masalah kalau Mira mengubah diri demi Luthfi, tetapi sepertinya perubahan Mira tidak cuma itu… Tetapi untuk saat itu Pandan memilih diam dulu. Dia meneruskan pekerjaannya. Tak lama kemudian Pandan berkacak pinggang sembari memperhatikan hasil karya-nya, Mira yang sudah dirias lengkap dan tampak mempesona dalem kebaya modern. Tubuh Mira yang pada dasarnya indah Tampak semakin gemulai dalem balutan kebaya dan bawahan kain batik yang pas tubuh itu. Tetapi Pandan sudah bisa menebak, dalem beberapa jam dandanan indah itu akan rusak diacak-acak. Entah oleh siapa. Barangkali oleh “orang penting” itu.
Mungkin Mang Trimin juga bakal ikutan. Kain batik yang membungkus pahanya bakal disingkap agar paha mulus Mira dapat dijamah. Kebaya berdada rendah yang membusungkan dada Mira itu tak bakal melindungi buah dada Mira dari ciuman dan gigitan; begitu pula leher mulus Mira yang Tampak seksi tanpa tertutup rambutnya yang disanggul modern. Make-up yang dibubuhkan Pandan dengan hati-hati itu bakal jadi awut-awutan kerana keringat dan sperma, lipstik merah yang memperindah bibir Mira bakal terhapus Saat berkali-kali bergesekan dengan batang kejantanan.
Pandan menceletuk,
“Udah siap nih, pengantinnya siap naik ke pelaminan.” Mira tertawa kecil. Pandan merasa sedikit miris.
“Di mana acaranya?” tanya Pandan lagi.
Mira menyebut nama satu hotel yang terletak dekat pusat kota. Pandan tersenyum kecut. Dia hafal benar nama hotel itu. Hotel berbintang yang dulu sering sekali Pandan datangi dengan berbagai lelaki.
“Nanti mau dijemput sama Mang Trimin dari rumah, makanya siap-siapnya dari sekarang,” kata Mira.
“Luthfi belum pulang ya?”
Mira menggelengkan kepala menjawab pertanyaan kakak iparnya.
“Kapan dia pulang?” Pandan terus bertanya.
“Iih, Kak Pandan kok tanya-tanya melulu,” seru Mira,
“Biarin aja dia mau pulang kapan…”
Pandan diam saja sesudah itu, agak prihatin dan khawatir tentang apa yang akan terjadi pada Mira. Bukan seperti ini yang dia harapkan Saat beberapa waktu lalu dia memberi saran kepada Mira agar lebih mengikuti kemauan suaminya. Sebandel-bandelnya Pandan, dia masih Sayang pada adik iparnya, dan tidak mau Mira terjerumus seperti dirinya. Saat Mira kembali ke rumahnya sendiri untuk menunggu dijemput, Pandan langsung menelepon Luthfi, ingin tahu sedang di mana adiknya itu. Teleponnya tidak dijawab. Tentu saja, kerana Luthfi mematikan telepon genggamnya di atas pesawat yang sedang membawanya pulang lebih cepat daripada dijadwalkan.
Tidak lama kemudian, Mira yang menunggu di rumahnya mendengar suara mobil berhenti di luar. Mang Trimin datang menjemputnya. Seperti biasa Mang Trimin dikawani dua anak buahnya yaitu Jaka dan Restu. Restu menyetir sementara Jaka memang kerjaannya mengintil pamannya ke mana-mana.
“Haduuh… Rupanya habis ada bidadari turun ke dunia? Mang sampe ga percaya. Geulis kieu,” puji Mang Trimin.
Dia memandangi sekujur tubuh putri pemilik perusahaan tempat kerjanya itu penuh nafsu. Kalau saja hari itu bukan hari pelaksanaan rencananya, Mang Trimin ingin sekali merasai lagi tubuh indah Mira. Dia teringat-ingat terus betapa tubuh tuanya bertekuk lutut dua kali akibat kemolekan Mira kemarin, Saat Mira mendatanginya di kantor. Jaka dan Restu juga terbit gairahnya melihat Mira, mereka belum lupa pengalaman mereka beberapa kali mencicipi tubuh Mira.
“Ayoh kita langsung berangkat. Neng Mira sudah makan?” tanya Mang Trimin. Mira mengangguk.
“Kan tadi Mang bilang suruh siap lahir batin,” kata Mira, merujuk percakapan mereka tadi pagi. Saat itu sudah lepas tengah hari. Mobil sedan Mang Trimin segera meluncur meninggalkan rumah Mira, menuju pusat kota.
Semua itu tak lepas dari pengamatan Pandan yang sengaja duduk-duduk di luar, mengawasi rumah Mira. Dengan gemas Pandan kembali berusaha menelepon Luthfi. Belum juga berhasil.
Sepanjang perjalanan Mang Trimin berbicara sesuatu ke Mira. Mira tak memperhatikan. Dia sedang menikmati bagaimana ketiga lelaki di dalem mobil itu mengagumi dirinya. Mira duduk di belakang bersama Mang Trimin sementara Restu di depan mengemudi sedangkan Jaka di kursi penumpang depan. Jaka berkali-kali menengok ke belakang tanpa alasan jelas, hanya untuk melihat wajahnya. Sementara Restu terus memperhatikan jalan, tetapi Mira beberapa kali melihat lewat kaca spion dalem, mata Restu tajam mengamatinya. Dan Mang Trimin sendiri mengajak berbicara Mira sembari tangannya menggenggam tangan Mira. Genggaman itu kadang dilepas menjadi belaian ke paha Mira yang masih terbungkus kain.
Kak Pandan, beginikah rasanya jadi dirimu?
Sejak berubah penampilan, cara berpikir Mira ikut berubah. Kini dia menikmati perhatian dan kekaguman lelaki. Dia mulai memandang dirinya sebagai objek nafsu lawan jenisnya, keberadaannya hanya demi memuaskan syahwat lelaki. Seakan kodratnya adalah untuk menyediakan kepretyan dan keseksian tubuh. Dan bukan hanya untuk suaminya. Tetapi untuk semua lelaki. Dia tak menolak siapapun. Seperti seorang lonte, Mira kini bersedia dijamah siapapun tanpa memandang status dan wajah. Sejak perubahannya, sudah banyak lelaki yang menikmati tubuhnya. Lelaki tua seperti Mang Trimin. Lelaki kalangan bawah seperti Pak Giman, si tukang sayur. Begundal seperti Jaka dan para aparat yang menciduknya. Mira sudah bisa mengira bahwa tubuhnya akan diumpankan kepada Pak Walikota.
Kata-kata terselubung yang disampaikan Viola dan Monty kemarin membenarkan itu. Dan Mira sama sekali tak keberatan. Dia sudah pernah meladeni mkemaluansia-mkemaluansia yang lebih tak pantas bagi dirinya, jadi Pak Walikota malah bukan tantangan baginya. Bagaimanapun, Pak Walikota tak bisa dibilang buruk rupa. Memang umurnya sudah matang, tetapi masih lebih muda daripada Mang Trimin. Dibanding Mang Trimin yang buncit, Pak Walikota lebih tegap dan atletis, kerana pensiunan perwira. Ditambah lagi, Pak Walikota jelas lebih berkuasa daripada Mang Trimin, apalagi suami Mira sendiri, Luthfi.
Masih Mira ingat bagaimana Pak Walikota menatapnya di party.Tatapan seorang lelaki yang lapar yang menginginkannya, yang seolah hendak menelanjanginya saat itu juga. Memang, Saat itu bukan hanya dia yang dipandangi seperti itu; dua wanita lain yang ada di sana juga dipandangi seperti itu. Tak apa. Mira menduga dia mungkin akan bertemu dengan kedua wanita itu lagi. Biar saja.Dia sudah merasa cukup percaya diri untuk bersaing. Oh, dia sudah tak sabar untuk bertemu Pak Walikota! Mereka menuju satu Area yang dikenal sebagai pusat hiburan malam kota. Di tengah siang, suasananya tak begitu ramai, tak seperti Area bisnis dan perdagangan di sekelilingnya. Diskotik, panti pijat, karaoke, dan hotel di kiri-kanan jalan Tampak belum hidup. Tetapi tempat parkir yang penuh mobil menunjukkan bahwa tetap ada orang-orang yang sedang melepas lelah dan suntuknya di sana, mencuri waktu untuk mereguk kenikmatan di tengah sibuknya jam kerja.
Mobil Mang Trimin berbelok ke arah satu gedung yang sepertinya bertingkat empat atau lima, tetapi bagian mukanya tertutup dinding kamuflase utuh yang menghalangi pandangan. Mira mengira inilah hotel tempat dia akan bertemu dengan Pak Walikota. Mira baru tahu mengenai hotel itu, tetapi bagi Mang Trimin, nama hotel itu sudah sangat akrab. Hotel itu terkenal sebagai salah satu pusat hiburan malam terbesar di kota. Prostitusi, judi, narkotika, semua terjadi di balik dinding yang menutupi muka hotel itu. Pihak berwenang bukannya tak tahu. Mereka sangat tahu. Dan mereka ikut menikmati bisnis gelap itu, baik uangnya maupun kegiatan usahanya. Mobil berhenti di depan lobi dan Mang Trimin turun bersama Mira dan Jaka. Restu kemudian membawa mobil ke tempat parkir. Mira dan yang lain melangkah masuk ke lobi hotel itu yang Tampak agak sepi. Di depan Table resepsionis berdirilah seorang lelaki berambut cepak dan bertubuh besar, mengenakan kacamata hitam dan pakaian serba hitam.
“Pak Syafri. Selamat datang, silakan ikut Aqu,” kata lelaki cepak itu. Mang Trimin tersenyum dan mengikuti lelaki itu yang langsung berjalan dengan langkah-langkah besar ke arah satu pintu di seberang lobi. Mira dan Jaka mengikuti.
Di balik pintu yang mereka lewati ada koridor sepi dengan beberapa pintu lain di kanan-kiri. Mereka menuju pintu paling ujung dan di balik pintu itu ada satu lounge yang terbuka ke arah kolam kecil dan taman, dengan bar menempel di satu dindingnya dan sofa-sofa putih tersebar. Kerana masih siang, lounge itu sepi, hanya ada bartender yang bekerja dan beberapa orang yang duduk di sofa. Lelaki dan wanita. Yang lelaki biasanya berpenampilan rapi seperti orang kantoran atau pengusaha. Yang wanita umumnya muda-muda, prety, berpakaian dan berdandan seksi. Inilah salah satu lokasi paling sering dikunjungi di hotel itu, yaitu tempat lelaki hidung belang mencari dan tempat para wanita penghibur dan germo mangkal. Tampak seorang lelaki botak berGiman memanggil seorang wanita paro baya, germo, yang datang diikuti tiga anak buahnya. Lelaki botak itu memandangi ketiga wanita yang disodorkan, bingung mau memilih yang mana.
“Tiga-tiganya saja Om, kalau bingung,” goda si germo.
Di pojok lain seorang lelaki berdiri meninggalkan sofa sembari merangkul lonte yang sudah dipilihnya, menuju pintu lift di sebelah bar, yang akan membawa mereka ke floor-floor berisi kamar.
“Pak Syafri, ini yang mau mewakili di atas?” kata si cepak sembari menengok ke Mira.
“Iya,” kata Mang Trimin.
“Namanya Mira.”
“Non Mira bisa ikut dengan Aqu ke atas,” kata si cepak lagi.
“Pak Syafri boleh tunggu di sini, atau tidak usah tunggu juga tidak apa-apa, barangkali terlalu lama.”
“Kita tunggu di sini aja sebentar,” kata Mang Trimin sembari menoleh ke Mira.
“Neng, ikut sama bapak ini ya ke atas. Mohon bantuannya, ya Neng. Inget pentingnya tender ini buat perusahaan, buat kita semua.”
Mang Trimin menggenggam tangan Mira erat-erat, sembari memandangi dengan mata penuh harap.
“Iya, Mang,” kata Mira sembari tersenyum.
Mereka berpisah di situ. Mang Trimin dan Jaka mencari tempat duduk di sofa, Mira dan si cepak menuju pintu lift. Setelah duduk, mata Jaka langsung jelalatan. Beberapa lonte yang berseliweran tersenyum menggoda ke arahnya. Sementara Mang Trimin mengawasi sekelilingnya. Dia mencari-cari kedua saingannya. Benar saja, Om Chun Sunargo ada di kursi depan bar, duduk menghadap bartender, tubuh kecilnya kelihatan tambah kecil kerana posisinya yang seperti meringkuk menggenggam gelas berisi minuman keras. Dia sendirian dan tak mengacuhkan wanita-wanita prety yang ada di sana. Beda dengan saingannya yang satu lagi, Mustofa. Mustofa yang ganteng dan berwajah seperti bule itu pindah duduk ke sofa tempat lelaki botak berkumis tadi yang ternyata kawannya, dan wanita-wanita yang merubungnya mengintil seolah harem-nya. Pertarungan sudah dimulai, pikir Mang Trimin.
Pintu lift membuka di floor lima, floor tertinggi hotel. Mira dan si cepak keluar ke koridor sepi dengan sedikit pintu, tanda bahwa di floor ini kamar-kamarnya besar sehingga jarak antar pintu lebih jauh. Memang floor lima adalah floor khusus kamar suite, kamar-kamar termahal di hotel itu. Salah satu pintu kamar terbuka dan keluarlah dua lelaki bertubuh tegap seperti aparat. Salah seorangnya Tampak teler dan mesti dipapah kawannya. Mira dan si cepak menepi Saat kedua lelaki tegap itu berpapasan dengan mereka, menuju lift. Mungkin di dalem kamar itu sedang ada sesuatu yang dinikmati, sesuatu yang membikin teler.
Tetapi keempat orang yang bertemu tanpa sengaja di lorong floor lima hotel itu tak saling bertanya. Tahu sama tahu. Mereka tidak peduli apa yang dilaqukan orang lain di kamar-kamar tertutup di sana, asalkan tidak mengusik apa yang mereka sendiri laqukan. Dalem kerahasiaan dan ketertutupan, di balik dinding yang menghalangi pandangan dari luar, segalanya bisa terjadi. Mira merasakan jantungnya berdebar-debar Saat dia dibawa menuju satu pintu yang terletak paling ujung. Di depan pintu itu, si cepak mengetok pintu beberapa kali lalu mengangkat walkie-talkie yang dari tadi ada di pinggangnya.
“Pak, dari Pak Syafri, sudah datang,” katanya ke walkie-talkie itu.
“Suruh masuk,” kata suara yang membalas.
Mereka berdua masuk setelah kunci pintu dibuka. Pintu itu adalah pintu kamar suite terbesar di hotel. Yang menyambut Mira di dalem adalah pemandangan interior mewah area depan kamar itu, ruangan kecil bernuansa warna hijau zaitun dengan kertas dinding mewah dan lukisan besar. Di ruangan itu ada satu sofa lebar.
“Silakan duduk di sofa sama yang lain,” kata si cepak kepada Mira, kemudian dia keluar lagi dari kamar itu.
“Yang lain” yang dimaksud adalah dua wanita lain yang sudah duduk di sofa. Dua wanita yang sudah Mira lihat waktu party. Dua saingannya. Duduk di sebelah kiri sofa, Jeselin Iffa Almaraz. Wanita Amerika Latin yang dibawa Mustofa itu tampak menawan dalem gaun merah dan sepatu hak tinggi yang juga merah, membuat Mira teringat telenovela yang dulu ditayangkan di TV dan sangat terkenal, di mana pada pembukaan tokoh utamanya menari sembari menyanyikan lagu tema dengan mengenakan pakaian seperti itu. Jesse berkulit sawo matang, dengan mata kelabu-biru bening, rambut coklat bergelombang, dan hidung mancung.
Kepretyannya memang menonjol, namun di negara asalnya yang terkenal sebagai gudang wanita terprety sedunia, Jesse sebenarnya tidak istimewa, apalagi dia sebenarnya berasal dari latar belakang miskin dan tak punya ketrampilan. Keadaan itulah yang membuat Jesse terjerat iming-iming pekerjaan yang ditawarkan mafia setempat, dan pada akhirnya dia terdampar di negara asing yang jauh dari kampungnya. Masih untung, di negara asing yang jauh itu justru wajah uniknya membuat dia berharga lebih tinggi sebagai penghibur, makanya hanya orang-orang yang mampu bayar mahal macam Mustofa-lah yang bisa menanggap jasanya..
Sementara di sebelah kanan sofa bersandarlah Wang Shen Yi alias Mey-Mey, yang mewakili Om Chun Sunargo. Salah satu bisnis Om Chun adalah agen model, namun Om Chun juga mengaryakan sebagian modelnya sebagai lonte kelas tinggi. Tarif mereka yang bisa mencapai jutaan untuk semalam membuat wanita-wanita itu beredar di kalangan eksklusif saja. gelorabirahi.com Mey-Mey adalah salah satunya, wanita keturunan oriental yang terbujuk rayuan agen “pencari bakat” bawahan Om Chun yang menawarkan pekerjaan model dengan menyatakan wajah khas Asia Timur yang dimiliki Mey-Mey sedang diminati. Diminati, oleh banyak lelaki, keturunan maupun pribumi, yang memang menggemari kulit kuning langsat dan mata sipit, dan mampu mengeluarkan uang banyak. Uang dan kehidupan glamor membuat Mey-Mey sulit lepas dari pekerjaannya, memuaskan mata dan tubuh lelaki. Tubuh langsing Mey-Mey siang itu berbalutkan cheongsam sutra coklat, sementara tata rambutnya persis seperti Saat Mira pertama kali melihatnya, dikepang satu di belakang kepala dan dihias jepit rambut berbentuk anggrek.
Dengan hadirnya Mira, maka lengkaplah perwakilan dari tiga peserta tender yang akan bersaing memperebutkan proyek besar. Mira jelas berbeda dengan Jesse dan Mey-Mey. Kedua wanita itu boleh dikata memang berprofesi prosititusi kelas tinggi. Sementara Mira bukan. Mira seorang auditor internal paro-waktu di perusahaan perkongsian orangtuanya dan orangtua Luthfi, juga istri Luthfi, dan calon pewaris perusahaan. Sebenarnya bukan tugas Mira untuk mengorbankan tubuhnya demi perusahaan. Namun siasat Mang Trimin yang sudah mengetahui kesukaan Pak Walikota terhadap Mira-lah yang membuat Mira berada di sana. Dan semua itu berawal dari foto-foto lonte yang Mira temukan di HP Luthfi!
Saat Mira datang, Jesse dan Mey-Mey sedang ngobrol dengan bahasa Inggris. Keduanya berhenti bicara sewaktu Mira mendekat. Mey-Mey menatap Mira dengan tatapan angkuh, sementara Jesse tersenyum lebar, berdiri, dan menjulurkan tangan.
“Hi there. I think I already saw you at the party?”
“Hai, bukankah Aqu pernah lihat kamu di party itu?” sapa Jesse dengan bahasa Inggris berlogat Latin.
Mira menyambut uluran tangan itu dan berjabat tangan dengan Jesse.
“How do you do? I’m Mira.”
“Apa kabar? Aqu Mira.”
“Nice to meet you Mira. You’re here for the business also?”
“Senang bertemu kamu, Mira. Kamu ada di sini untuk urusan itu juga?” sambut Jesse ramah. Wanita Latino itu sepertinya memang mudah akrab dengan orang.
Kemudian Mira menyodorkan tangan ke arah Mey-Mey, berusaha berkenalan. Beda dengan Jesse, Mey-Mey tampak meremehkan Mira dari tadi, tetapi mukanya Tampak seperti kecele’ Saat mendengar Mira juga bisa ngobrol lancar dalem bahasa asing dengan Jesse. Mira duduk di antara Jesse dan Mey-Mey di tengah sofa, kebaya warna emasnya membuat dia tak kalah oleh keelokan kedua saingannya.
“Udah biasa urusan begini?” tanya Mey-Mey datar ke Mira.
Mira bingung menjawabnya. ‘Biasa urusan begini’ maksudnya… biasa menggunakan keindahan tubuhnya untuk melobi?
Jadi Mira menjawab dengan tersenyum saja.
Mey-Mey tersenyum sinis. “Masih baru ya… Asal jangan minta diajarin aja entar.”
“Nice room they have here.”
“Kamarnya bagus juga,” celetuk Jesse, yang tidak mau ketinggalan obrolan.
“I’ve seen better…”
“Aqu sudah pernah lihat yang lebih bagus…” balas Mey-Mey, seolah mau menyombongkan pengalamannya.
“But this one seems really big. Too big.”
“Tetapi kamar ini kelihatannya besar sekali.”
Terlalu besar kalau hanya untuk empat orang…
Ruang depan itu membuka ke arah bagian dalem kamar suite yang tak terhalang dinding. Dari dalem muncullah seorang lelaki bertubuh tegap, berusia setengah baya, mengenakan kimono. Rambutnya hitam bercampur uban, wajahnya keras namun tampan. Dialah Pak Walikota.
“Selamat datang, ladies,” katanya ramah.
“Moga-moga tidak bosan kerana kelamaan nunggu. Ayo masuk.”
Ketiga wanita prety itu berdiri dan mengikuti Pak Walikota masuk ke ruangan utama kamar suite. Kamar itu besar sekali, mungkin lebih mirip suatu unit apartemen penthouse daripada kamar hotel. Ada ruang tengah yang berisi sofa, kursi, dan televisi, dan Tampak beberapa pintu yang mungkin menuju kamar mandi atau kamar tidur tersendiri. Seluruh floornya tertutup karpet empuk. Di ruang utama, Mira, Jesse, dan Mey-Mey disuruh duduk lagi di sofa yang ada di sana, sementara Pak Walikota duduk di kursi di seberangnya. Posisi duduk ketiga wanita seperti di depan tadi: Jesse di kiri, Mey-Mey di kanan, Mira di tengah.
“Aqu rasa kalian bertiga sudah tahu kan kenapa kita semua ada di sini. Aqu mau tahu yang mana di antara perusahaan yang kalian wakili yang paling pantas untuk jadi mitra kerja pemerintah daerah untuk proyek penting yang akan kita garap. Jadi, silakan.”
Pak Walikota mendatangi sofa tempat ketiga wanita prety itu duduk. Pertama dia mendekati Jesse. Tanpa disuruh, Jesse berdiri.
“What’s your name?” “Namamu siapa?” tanya Pak Walikota sembari mengelus lengan wanita Latino itu.
“Jeselin, Pak. Di panggil Jesse,” kata Jesse dengan logat asing tetapi lancar. Dia sudah cukup mahir setelah beberapa tahun bekerja. Walikota tersenyum.
“Bagus, Bagus. Jadi kita nggak usah ngomong bahasa Inggris kan nih.” Jesse duduk kembali.Gairah sex
Kemudian Pak Walikota ke orang di sebelah Jesse, Mira. Mira juga berdiri meniru Jesse. Pak Walikota justru meraih tangan kanannya.
“Kita ketemu lagi, Bu Mira… Boleh Aqu panggil Mira saja kan?” kata Pak Walikota, lalu dia mencium tangan kanan Mira yang di jari manisnya tersemat cincin pernikahan itu.
“Tetapi nggak nyangka juga ada kesempatan seperti ini… semoga bisa lancar dan sesuai harapan,” kata Pak Walikota. Mira tak paham apa yang dimaksud.
Tanpa menjelaskan kata-katanya, Pak Walikota berlanjut menuju wanita terakhir di sofa itu, Mey-Mey. Mey-Mey juga berdiri dan tersenyum semanis mungkin. Di antara tiga wanita itu, Mey-Mey yang paling muda. Tetapi pengalamannya sebagai penghibur tak kalah dengan Jesse, apalagi dari Mira. Jadi dia tahu benar cara bersikap di hadapan lelaki.
“Aqu Mey-Mey, Pak Walikota,” katanya sembari mengerling genit.
Dilihatnya Pak Walikota balas tersenyum, lalu menjulurkan tangan dan membelai pipinya.
“Mey-Mey ya. Prety juga kamu,” kata Pak Walikota.
“Makasih Pak,” ujar Mey-Mey, membalas basa-basi.
“Oke,” kata Pak Walikota sesudah menyapa ketiganya.
“Aqu kira kalian sudah diberitahu, atau tahu sendiri, kita semua mau apa di sini. Iya kan?” Jesse dan Mey-Mey mengangguk dan tersenyum.
“Nah, mesti Aqu beritahu… yang mau kita laqukan ini mungkin nggak seperti yang kalian kira.” Walikota memandangi ketiganya, lalu bertepuk tangan. Isyarat untuk sesuatu.
“Kalian udah siap fisik dan mental kan?” tanya Walikota.
Dari bagian dalem kamar itu terdengar langkah-langkah dan suara-suara. Lelaki. Dan muncullah mereka, lima belas orang, di belakang Walikota. Mira, Jesse, dan Mey-Mey memperhatikan orang-orang yang datang itu. Dan ketiganya cukup terkejut. Mungkin yang sedang mereka saksikan itu sekumpulan mkemaluansia paling jelek, menjijikkan, dan mengerikan yang pernah mereka lihat. Entah dari mana asalnya mereka. Preman? Gembel? Klub orang jelek? Ada satu orang yang di mukanya ada bekas luka besar melintang dari mata ke hidung. Ada lagi yang mukanya bopeng seperti bekas jerawat parah atau cacar. Ada seorang tua dengan pakaian lusuh, seperti peminta-minta. Ada anak muda kurus dengan mata kosong dan tangan penuh bekas luka suntik. Satu orang di antara mereka nyengir, mukanya hitam, tiga gigi depannya ompong. Di belakang ada seseorang yang kegemukan. Ada yang pendek sekali, nyaris cebol, dengan mata liar. Sekumpulan mkemaluansia-mkemaluansia bernasib kurang mujur berwajah hancur. Untuk apa mereka ada di sana? Mira dan kedua yang lain bertanya-tanya. Mereka memandangi Pak Walikota. Lalu terdengar salah seorang dari kelompok itu menceletuk.
“Gile, cakep-cakep bingit. Beneran buat kita nih Pak?”
Walikota tersenyum dan berkata kepada ketiga wanita itu.
“Oke. Begini caranya. Kalian mungkin datang ke sini sudah tahu mau berbuat apa. Mungkin kalian dikasih tahu harus melayani Aqu sebaik-baiknya. Kalian pasti tahu, kalian ada di sini untuk bersaing. Kepentingan orang yang kalian wakili tergantung pelayanan kalian. Nah, kebetulan Aqu punya satu keinginan, dan Aqu pikir itu bisa dijadikan bagian persaingan ini.”
Tertegun ketiga wanita itu mendengar kata-kata Pak Walikota. Apalagi Saat mendengar lanjutannya…
“Aqu mau lihat kalian layani orang-orang ini. Aqu akan tentukan pemenangnya berdasarkan siapa yang paling Aqu sukai aksinya.”
Mira kaget. Mey-Mey mengeluarkan suara menahan nafas. Jesse tidak bereaksi. Pak Walikota berbalik menghadapi kumpulan orang jelek di belakangnya, lalu berkata,
“Silakan, kawan-kawan.”
Orang kegemukan yang berdiri paling belakang maju melewati kawan-kawannya, menuju ke depan. Pak Walikota bergeser, berjalan menuju satu kursi dan duduk di sana. Di ruangan tengah kamar suite hotel itu, terhampar karpet empuk. Sofa-sofa berjajar merapat ke dinding di sekelilingnya, seperti kursi penonton mengelilingi suatu arena. Pak Walikota duduk di kursi yang nyaman, sepertinya dia malah bersiap menjadi penonton kegiatan yang akan terjadi. Tidak butuh waktu lama untuk memulai. Orang-orang itu pasti horny sekali, melihat keseksian tiga wanita di depan mereka, apalagi mereka kalau dilihat dari wajahnya bisa dikata orang-orang yang jarang bisa menikmati wanita prety. Si gemuk yang maju ke depan itu mendekati Jesse. Berat tubuhnya jelas lebih daripada 100 kilogram. Dia berdiri tepat di depan Jesse. kumis dan jenggotnya seperti tidak dicukur selama seminggu, dan bau tubuhnya juga seperti orang yang tidak mandi seminggu juga. Tetapi Jesse masih bisa tersenyum manis menghadapi dia.
“Kamu suka aqu ngga,” tanya Jesse kaqu sembari mengelus pipi berjenggot si gemuk.
Mana bisa dia tidak suka? Jeselin, dengan rambut panjang coklat yang ikal terurai di bahu, mengenakan gaun merah pendek yang hanya menutup sampai jauh di atas setengah pahanya. Sepasang kakinya yang panjang, kecoklatan, dan indah sungguh menggoda, dalem stoking dan sepatu hak tinggi. Dan belahan dada yang tampil di leher bajunya menantang setiap lelaki. Segala bagian penampilannya seolah mengumumkan, “Aqu seksi, setubuhi aqu.”
“Kamu cakep bingit,” kata si gemuk, “apa bener kamu mau gituan sama semua orang di sini?”
Jesse meraih selangkangan si gemuk, meraba-raba kemaluan di balik pakaian training super lebar yang si gemuk pakai, dan bilang,
“Ya. Dan kamu boleh apa saja sama Aqu. Semua Aqu mau!” Jari-jari Jesse mengelus pangkal paha si gemuk sementara dia menatap wajah si gemuk.
“Apa pernah di blowjob?” tanya Jesse.
“Enggak,” jawabnya penuh semangat, sembari melihat Jesse meloloskan tali bajunya dan memelorotkan bagian atas bajunya sehingga buah dadanya yang besar dan prety Tampak.
Jesse meremas buah dadanya sendiri, memamerkan ukuran keduanya kepada si gemuk, lalu melepas gaun merahnya Dia jadi nyaris telanjang, hanya mengenakan pakaian dalem, stoking, dan sepatu hak tinggi. Lalu dia tanya si gemuk,
“Mau ga aqu isep?”
Si gemuk hanya mengangguk sembari bergumam,
“Gile, cakep bingit…” Orang-orang lain di ruangan itu juga ikut berbisik-bisik dan menceletuk, dan semua mata mereka tertuju ke tubuh indah Jesse. Jesse berlutut di depan si gemuk. Dia menarik turun pakaian training lebar yang dipakai si gemuk. Dia memandang ke atas, matanya sungguh seksi menggoda lelaki kelebihan berat tubuh itu. Sementara itu si gemuk sedang membuka kaosnya. Jesse melihat perut si gemuk yang berlemak dan berambut menggelambir tepat di depan mukanya. Dia kemudian memelorotkan pakaian dalem. Bau tak enak dari tubuh si gemuk tercium semakin tajam. Semakin ketahuanlah bahwa mandi bukan aktivitas yang sering dilaqukan si gemuk. Wanita lain pasti akan berhenti dan pergi kerana jijik disuruh melayani mkemaluansia gemuk bau seperti dia. Tetapi Jesse bertahan, kerana dia memang profesional.
Dia tahu dia harus membantu orang yang memakai jasanya, Mustofa, memenangkan tender, dan dia sudah dibayar untuk menghadapi semua resiko. Lagipula, di negara asalnya, di mana Jesse mulai menjual diri di jalan, banyak juga mkemaluansia-mkemaluansia buruk rupa yang pernah dia layani. Yang satu ini memang tak ketulungan jeleknya, tetapi belum termasuk yang paling buruk dalem pengalaman Jesse. Jesse memang naik kelas setelah merantau ke negara ini dan lebih sering mendapat klien yang rapi, tetapi dia tidak melupakan apa yang dia pelajari dulu “Sebagai lonte, harus mau melayani lelaki apa saja, tidak ada kata tidak suka.” Jesse mulai memain-mainkan batang kejantanan si gemuk yang kelihatan menegang. Perut si gemuk membuat ukuran kemaluannya tak kelihatan jelas. Sepertinya tidak besar. Dan baunya jelas menjijikkan. Tetapi Jesse tak gentar, dan lonte Latino itu pun membenamkan mukanya ke selangkangan si gemuk, memasukkan kemaluan kotor itu ke dalem mulut.Gairah sex
“Mmmmm. Mmmm! I love it,” desah Jesse palsu.
Beberapa orang lain dari kawanan buruk rupa mendekat. Mungkin mereka semua tak percaya wanita prety impor ini menikmati kemaluan dekil si gemuk. Selagi mereka menonton, Jesse mengangkat batang si gemuk untuk meraih buah kemaluan. Kantong biji si gemuk yang cukup besar menggelantung dan menyebar bau tak sedap. Jesse berbalik tubuh, lalu berposisi duduk di bawah selangkangan si gemuk dan mengemut kedua bijinya sekaligus. Tampak lidahnya beraksi mengusap-usap barang jorok itu. Kemudian setelah beberapa saat, dia lepas keduanya dari mulutnya. Servis Jesse benar-benar tanpa rasa jijik. Kuluman biji tadi dilanjutkan jilatan-jilatan di belakang pangkal kantong kemaluan, menuju bokong. Dia goda si gemuk dengan menjilat sepanjang bagian luar belahan bokongnya. Sesudahnya Jesse bertanya,
“You like?”
Jesse langsung meraih batang si gemuk dan mulai memasturbasikannya. Si gemuk tak tahan dan dia berteriak, “Anjrit… ngentot… Ga tahan!”
Beberapa detik kemudian si gemuk memuncratkan isi bijinya ke floor, dibantu cekikan dan kocokan Jesse terhadap burungnya. Jesse agak lega, dia berhasil membuat si gemuk cepat keluar, jadi dia tidak perlu lama-lama menggarap kemaluan si gemuk yang menjijikkan itu, apalagi kalau si gemuk menyetubuhinya dengan posisi perut yang besar itu menindih tubuh Jesse… Tetapi dia tahu tugasnya belum selesai.
“Siapa lagi?” ajaknya.
Nah, sebenarnya pada waktu yang hampir bersamaan, orang-orang lain dalem kawanan buruk rupa tidak hanya menonton apalagi membiarkan dua wanita lain yang ada di sana, Mira dan Mey-Mey, tak terjamah. Mereka jelas tak mau melewatkan kesempatan, kapan lagi mereka akan bisa menikmati wanita-wanita prety yang normalnya cuma mereka bisa dapat dalem mimpi? Mereka berasal dari mana-mana, ada yang diambil dari panti sosial, ada yang dipinjam dari tahanan polisi, ada beberapa preman dan anggota geng, dan ada pula anak buah Pak Walikota sendiri yang berkedudukan rendah.
Sejak pertama kali kawanan orang jelek itu muncul, Mey-Mey sudah deg-degan. Berbeda dengan Jesse yang mulai dari bawah, Mey-Mey selalu menjadi lonte kelas tinggi. Toh awalnya juga dia mulai sebagai model di agen Om Chun Sunargo, dan yang membuat dia mau membuka baju dan menjual kehormatannya adalah iming-iming uang banyak dan kehidupan glamor. Tarif kencan dengan Mey-Mey cukup tinggi, mungkin senilai gaji sebulan seorang eksekutif tingkat menengah. Wajar saja mengingat wajahnya memang prety, predikatnya sebagai model, dan garis keturunannya yang membuat dia lebih dicari oleh klien kalangan berpunya. Daripada seks-nya, dia lebih menikmati uang yang dia dapat dan dia juga biasa pilih-pilih klien.
Waktu Om Chun memberitahunya untuk meladeni Pak Walikota, Mey-Mey menyangka dia sekadar akan melayani satu orang, yang kaya, berkuasa, dan tidak jelek-jelek amat. Apapun hasilnya, dia akan dibayar, tetapi kalau tender berhasil dimenangkan, Om Chun berjanji akan menambah bayarannya. Jelas dia tidak menduga Pak Walikota rupanya berencana membuat acara seperti ini, party seks dengan tiga wanita prety dan belasan lelaki jelek. Mey-Mey tak dapat memendam ekspresi berang campur gamang Saat tadi barisan mkemaluansia tak sedap dilihat itu datang. Dia terbiasa dengan para klien muda maupun tua yang memperlaqukannya ibarat diva dan membayarnya berjuta-juta. Sementara orang-orang itu? Ih! Mey-Mey selalu menganggap dirinya anggota kelas atas dan memandang rendah mereka. Tetapi kali ini dia kena batunya. Dia memandangi orang-orang itu dengan benci.
Saat Pak Walikota berkata “Silakan, kawan-kawan” tadi, Mey-Mey terpaqu, tak tahu harus berbuat apa.
Begitu si gemuk maju dan berinisiatif mendekati Jesse, Mey-Mey sadar bahwa dia pun harus melaqukan hal yang sama supaya bisa bersaing, tetapi… apa dia rela membiarkan dirinya merendahkan diri seperti Jesse yang mau-maunya melayani si gemuk yang jorok itu?
Persetan dengan tendernya Koh Om Chun! Apalagi, di antara kerumunan, beberapa orang, di antaranya si muka bopeng, kelihatan mendekati dirinya.
“Wah, yang ini amoy, mirip anaknya bos gue, boleh dong!” seru si muka bopeng.
“Tetapi wajahnya senga’ gitu yah,” celetuk kawannya yang di mukanya ada codet atau bekas luka, memanjang dari dahi melintas mata sampai ke pangkal hidung.
“Amoy songong nih. Kayak yang nolak gue waktu itu.”
Mereka melihat ekspresi Mey-Mey yang tak menutupi ketidaksukaannya, dan malah nafsu mereka semakin terpancing. Si bopeng memang selama ini menahan mupeng terhadap anak bosnya yang mirip Mey-Mey, sementara si codet pernah ditolak cintanya oleh seorang wanita keturunan dan dia masih dendam. Jadilah kedua pemuda dengan muka tak sempurna itu maju ke arah Mey-Mey dengan mata lapar, penuh dendam dan birahi, siap melampiaskan hasrat terpendam mereka. Saat tangan si bopeng terjulur, Mey-Mey tak tahan lagi.
Dia berbalik dan berjalan pergi, menuju pintu kamar hotel. Dia mau pergi saja. Dia tak peduli dengan tugasnya, dia ogah melayani orang-orang rendahan, titik! Dia sudah membayangkan akan marah kepada Om Chun Sunargo yang mengumpankannya kepada mereka. Si bopeng dan si codet tidak membiarkan incaran mereka pergi, jadi mereka mengikuti Mey-Mey yang mempercepat langkah, dan akhirnya berlari, menuju pintu keluar. Tetapi di depan pintu ada pengawal Pak Walikota yang menghalangi.
“Minggir Pak. Aqu mau keluar!” teriak Mey-Mey.
Tetapi si pengawal melihat Pak Walikota menggelengkan kepala, jadi dia tidak bergeser.
“MINGGIR!” Kembali Mey-Mey berteriak, wajahnya amat kesal. Sesaat kemudian teriakannya berubah.
“JANGAN! LEPASIN!”
Si bopeng dan si codet sudah sampai di sana, diikuti beberapa orang lain, dan mereka pun segera memegangi Mey-Mey. Mey-Mey shock merasakan tangan kasar mereka mencengkeram lengannya, pinggangnya, dan juga ada yang mencengkeram bokongnya. Makanya dia berteriak dan meronta, tetapi apa daya, usahanya melepaskan diri malah membuat si codet dan si bopeng dan kawan-kawannya semakin bernafsu.
“Lepas…in!! Ihh!! Pergi!! Jangan!!” Mey-Mey berteriak-teriak selagi si bopeng, si codet, dan kawan-kawannya merubung.
Si bopeng sudah merangkul dan mengusap-usap lengan Mey-Mey. Si codet berbisik,
“Non, kenapa teriak-teriak? Ga suka ya sama kita-kita? Kita ga level ya Non? Gitu?”
Nafasnya yang bau membuat Mey-Mey bergidik. Pengawal Pak Walikota diam saja seperti patung. Tak sedikit pun dia terpikir untuk menolong Mey-Mey, kerana memang bukan urusannya. Malah diam-diam dia menikmati pemandangan itu. Orang-orang kasar bin seram yang didatangkan Pak Walikota itu merubung seorang wanita berkulit kuning yang amat prety. Rambut hitam Mey-Mey yang dikepang dielus-elus tangan-tangan mereka. Sekujur tubuhnya yang berbusana cheongsam coklat juga digerayangi. Bahkan mulai ada yang kurang ajar merogoh ke balik baju dan menyentuh tubuhnya langsung. Mata sipitnya berkaca-kaca, kerana ketaqutan dengan orang-orang yang merubungnya.
Si bopeng kemudian menyentuh dagu Mey-Mey dan memaksanya menengok sehingga wajah mereka berhadapan.
“Mmmhh!!” Melihat sorot mata Mey-Mey yang jijik, si bopeng gemas. Dilumatlah bibir tipis Mey-Mey dengan paksa, sementara wanita oriental itu tak rela. Dia ingin kabur, tetapi dia tak kuat menghalau semua orang yang merubungnya. Mey-Mey semakin kaget Saat tangan kasar si codet, yang menyelinap dari bawah cheongsam, menyentuh bagian depan pakaian dalemnya. Akibatnya si bopeng berhasil membuka paksa mulut Mey-Mey dan menjulurkan lidahnya yang menjijikkan ke dalem sana. Mey-Mey terus berusaha, dia mau menahan tangan si codet, tetapi malah tangannya dipegangi oleh orang-orang lain sehingga si codet bebas mengelus-elus kewanitaannya yang masih tertutup pakaian dalem. Satu lagi orang yang memeganginya berjongkok memeluk pahanya.
Kalau Jesse tadi mengenakan stoking, paha Mey-Mey tak terbungkus apa-apa, sehingga paha mulus itu pun langsung merasakan hangat dan basah lidah orang itu yang mulai menjilatinya. Kelompok pengeroyok Mey-Mey, lima orang yang terdiri atas si bopeng, si codet, dan tiga rekan keduanya, begitu antusias dan terbakar birahi oleh sasaran mereka yang mulai tak berdaya itu. Mereka menginginkan dia, yang normalnya tak bakal mereka bisa jangkau, dan mereka tak peduli Mey-Mey bersedia atau tidak. Mereka tarik Mey-Mey kembali ke ruang tengah, ke tengah “arena” di depan Pak Walikota yang terus duduk menyaksikan. Pada saat yang sama Jesse sedang menyepong dua orang sekaligus.
“Buka dong bajunya Non,” kata si bopeng dengan nada memaksa.
Kawan-kawannya tertawa, sepakat. Mey-Mey tak berdaya menolak, dengan enggan dia menggerakkan tangan ke barisan kancing cheongsam yang melintang dari leher ke samping dada, dan dia membukanya satu demi satu dalem keadaan dipegangi dan diraba-raba para pengeroyoknya. Rambutnya yang dikepang sudah mulai terlepas dari tataan, sementara jepit rambutnya yang berbentuk anggrek terjatuh Saat dia diseret dari depan pintu.
BRETTT!
“AIIIHHH!!” Terdengar jerit panik Mey-Mey menimpali Suara kain dirobek. Saking tak sabaran, si bopeng dan si codet memutuskan untuk mempercepat proses penelanjangan Mey-Mey dan cheongsam sutra itu pun mereka tarik sehingga robek sepanjang jahitan sisinya. Tubuh mulus Mey-Mey pun tersaji di atas lembar kain sutra yang tadinya cheongsam, masih terlindung di balik bra dan pakaian dalem hitam berenda, tetapi kedua potong pakaian dalem itu pun segera disingkirkan oleh orang-orang yang merubungnya. Setelah Mey-Mey telanjang, dan tubuh mudanya yang indah terbuka bagi tatapan cabul para pengeroyoknya, mereka pun menerkamnya. Tangan-tangan kapalan mereka dengan kasar menjelajahi tubuh Mey-Mey. Meremas dan membelai buah dada Mey-Mey yang kecil, kencang, dan mencuat ke atas, membelai pahanya yang tak kalah mulus dengan sutra. Mendengus penuh nafsu, tak sabar menunggu. Mereka persiapkan incaran mereka itu untuk dinikmati. Meski masih meronta-ronta, Mey-Mey tak berdaya Saat orang-orang itu membaringkannya di atas karpet dan menahannya.
“Aunghhh! Lepppassinnn!!” Mey-Mey meringis dan menjerit tak rela saat orang-orang itu merentangkan kedua pahanya.
Ini sudah sangat di luar rencana! Gundukan kemaluannya yang berambut ikal halus pun terpapar jelas. Mey-Mey menahan nafas selagi merasa bibir luar kemaluannya merekah, menunjukkan celah dalemya yang sempit dan menjanjikan sensasi kenikmatan kepada para pengeroyoknya. Kemaluan yang karcis masuknya berharga jutaan. Tak terpikir sama sekali oleh Mey-Mey bahwa dia akan dipaksa mengobral memeknya untuk orang-orang kelas rendah. Jesse lebih beruntung kerana masih pegang kendali. Sementara Mey-Mey sudah seperti akan diperkosa saja oleh orang-orang yang merubungnya. Lalu Mey-Mey melihat si bopeng berlutut di depan selangkangannya yang sudah dibentangkan, dengan pakaian sudah dilepas. Dia menatap ngeri melihat organ lelaki si bopeng.
Kemaluannya cukup panjang dan gemuk, dibanding kebanyakan klien yang pernah dilayani Mey-Mey. Batangnya berurat dan kepalanya besar. Lubang kencingnya sudah mengeluarkan sedikit lendir. Si bopeng tak buang-buang waktu dan beringsut maju; di dalem kepalanya, dia membayangkan akan menyetubuhi anak bosnya. Dia mendorong kepala burungnya ke bukaan kewanitaan Mey-Mey yang mencuat ke atas, memaksa masuk. Bibir kemaluan Mey-Mey yang rapat pelan-pelan merekah dan tiba-tiba kepala burung yang besar itu bisa masuk ke dalem.
“AAAHHH!”
“Aughhh…”
Si bopeng dan Mey-Mey mengerang bersamaan, yang satu merasakan sempitnya kemaluan Mey-Mey yang berharga tinggi, yang satu lagi diterobos kemaluan orang kere tetapi besar.
“Gimana bro rasanya?” tanya si codet melihat wajah si bopeng yang mupeng keenakan.
Si bopeng tidak menjawab, dia masukkan senjatanya semakin dalem, menerobos kemaluan Mey-Mey yang sempit. Mey-Mey menjerit dan memberontak, mencoba lepas dari tangan-tangan bejat yang mencengkeramnya. Tetapi dia tidak berdaya melawan kekuatan mereka.
“Ssh… uh… ugh…” Si bopeng mendesah keenakan.
Dinding dalem kewanitaan Mey-Mey sungguh rapat dan soft, membelai kejantanannya. Si bopeng menggenjot kencang, menusuk dalem-dalem sampai mentok. Kenikmatan menjalar di bagian bawah tubuhnya. Dia merasakan tubuh amoy ramping itu tersentak-sentak di bawah dirinya, mendengar bibir tipis Mey-Mey terengah dan mengeluarkan Suara-Suaraan tak jelas. Kawan-kawannya terus mencengkeram bagian-bagian tubuh Mey-Mey, membelai betis dan paha, merasakan otot-otot wanita itu berkedut dan bergerak selagi Mey-Mey masih berusaha membebaskan diri, supaya bisa lolos dari penetrasi tak dikehendaki.
Kemaluan besar si bopeng sudah merojok masuk dalem-dalem. Rasa ngeri dan muak melanda sekujur tubuh Mey-Mey saat si bopeng menggerakkan pinggul, menggesek-gesekkan kepala burungnya menyodok rahim, menusuk-nusuk dengan sentakan bokongnya. Wanita manis itu tak diberi pilihan, dia hanya bisa menerima pelecehan menjijikkan terhadap tubuhnya yang dia jadikan barang mahal. Si bopeng terus mengentot Mey-Mey. Keluar, masuk, naik, turun, menyodok sampai sedalem-dalemnya kemaluan si lonte kelas tinggi.
Dia terlalu semangat gara-gara berkesempatan mewujudkan mimpinya menyetubuhi wanita berBolangsik mirip anak bosnya, akibatnya dia tak tahan lama. Mana bisa dia tahan lama dalem sesak dan halusnya kemaluan yang tadinya khusus bagi orang-orang yang kuat membayar itu? Kejantanan si bopeng muntah dengan dahsyatnya, berkedut-kedut di dalem, menyemburkan mani panas kental. Mey-Mey sendiri tak mengira akan secepat itu si bopeng keluar, apalagi si bopeng tak memakai kondom, sehingga dia pun menjerit ngeri dan jijik saat merasakan semburan benih dari seorang lelaki kurang berkualitas membanjiri dan mencemari rahimnya. Semburannya tak berhenti-berhenti, memang si bopeng jarang sekali berkesempatan bersetubuh sehingga maninya lebih sering menumpuk di dalem. Senjatanya menyentak dan menyentak, Mirap sentakan melepas semburan peju. Mey-Mey menendang-nendang dan menggeliat, menjerit kerana dipermalukan seperti itu.
“Ahh… Nggaakk!! Jangan!!… Ah! AH!”
Akhirnya selesai juga ejaqulasi si bopeng, dan dia menarik organ lelakinya yang berlumur peju dari dalem tubuh Mey-Mey yang dinodainya. Mey-Mey gemetar sekujur tubuhnya, reaksi atas pengalaman hubungan seks tanpa rela. Tidak terbayang oleh dia bahwa dalem kariernya menjual kemolekan tubuh, dia akan melayani orang berwajah jelek dan berkantong bokek. Bukan orang-orang yang berpunya dan memuja kepretyannya. Tetetapi pemaksaan oleh sekelompok mkemaluansia yang di pandangannya hanya sederajat di atas binatang, yang dia anggap tidak berhak menikmati dirinya. Mey-Mey menengok dan melihat Pak Walikota tersenyum sinis. Tetapi dia tak diberi kesempatan beristirahat, orang berikutnya sudah bersiap-siap menggilirnya.
Sesudah Jesse mulai melayani si gemuk dan Mey-Mey ditangkap si bopeng dan si codet, kawanan orang jelek terbagi tiga. Sebagian mendekat ke Jesse, sebagian lagi ikut merubung Mey-Mey. Sisanya memilih Mira. Mira memandangi mereka. Jelas tidak lebih ganteng daripada yang lain. Dia tersenyum manis kepada mereka semua.
“Selamat siang, bapak-bapak,” sapanya sopan.
“Aqu butuh kerja sama kalian…” katanya sembari berjalan ke tengah-tengah mereka, menguasai keadaan. Walau dia masih berpakaian lengkap, aura keseksian yang dipancarkannya tak kalah dengan Jesse dan Mey-Mey.
“Ayo… jangan malu-malu,” rayunya.
Dia berkata itu sembari menggerakkan tangannya, meraba tubuh para lelaki yang mengelilinginya. Dia memandangi mereka semua dengan mata seolah meminta.
“Tolongin yah…” bujuknya,
“Aqu butuh kemaluan kalian…”
Meski kalah pengalaman dari Jesse dan Mey-Mey, Mira jelas mendalemi perannya, berkat semua perubahan yang dilaqukan Pandan dan Mang Trimin. Mereka yang merubungnya seolah tak percaya, wanita muda di hadapan mereka itu berkata sendiri menginginkan kejantanan mereka. Padahal penampilannya begitu indah. Rambutnya di ikat sehingga memperlihatkan lehernya yang mulus. Dadanya sedikit membusung di balik atasan kebaya. Pinggulnya yang aduhai terbungkus ketat kain batik. Make-upnya semakin menonjolkan kepretyan wajahnya, dengan eyeshadow gelap, alis terlukis, dan blush on.
Orang-orang yang merubungnya sudah sangat terangsang, tetapi pembawaan Mira yang elegan membuat mereka segan. Walau mereka bisa, mereka tak bersikap seolah bisa menyuruh Mira berbuat apa saja, seperti pada Jesse, ataupun memaksa, seperti pada Mey-Mey. Mira melihat keraguan mereka, mata mereka seolah bertanya Boleh nggak sih? tetapi tonjolan-tonjolan di selangkangan mereka mulai muncul tanda nafsu tak terbendung. Mira tak langsung mengumbar diri seperti Jesse maupun menunjukkan ketidaksukaan seperti Mey-Mey. Dia tertawa kecil melihat orang-orang itu betul-betul kebingungan. Mereka segan padanya, walau mereka mengagumi. Mereka seolah manusia jelata yang menyaksikan bidadari kahyangan, tertegun dan tak tahu boleh berbuat apa. Sembari tersenyum, Mira melepas satu per satu kancing kebayanya. Setelah terbuka semua, Mira pun menggerakkan lengan dan pundaknya, membiarkan kebayanya meluncur ke floor. Tanpa menunggu reaksi lain-lain, Mira kemudian melepas kain bawahannya, dan sedetik kemudian kain batik sudah merosot melingkungi kedua kakinya yang masih bersepatu hak tinggi. Tubuh bahenol Mira pun tampak, hanya tertutup bra dan pakaian dalem. Orang-orang di sekeliling Mira kagum akan berubahnya pemandangan indah di depan mereka. Mira yang indah berkebaya berubah menjadi Mira yang seksi berlingerie, dengan beha demi-cup putih yang hanya menutup separo dari masing-masing buah dadanya, juga pakaian dalem tipis transparan yang juga putih, dengan design yang memikat birahi.
Mira berputar, melihat reaksi orang-orang yang mengelilinginya. Sekalian dia memilih, siapa yang akan dia layani. Di antara mereka, Mira memilih yang bertubuh paling jangkung. Seorang pemuda kurus berkacamata berwajah Plengeh dan wajahnya ada kemiripan dengan Pak Walikota. Mira tersenyum ke arah si Plengeh, meraih tangannya, dan berjalan menarik si Plengeh ke arah sofa. Mira berdiri di depan di sofa dan si Plengeh ada di depannya. Si Plengeh ini kurang memahami asmara langsung dengan wanita, tetapi kalau teorinya saja dia sudah fasih kerana sering nonton video dewasa. Mira berinisiatif dulu dengan merangkul pinggang si Plengeh. Ditatapnya wajah pemuda jangkung itu lalu ditariknya… dan kemudian bibirnya mendarat di bibir si Plengeh. Si Plengeh membalas dengan kaqu; mungkin dia jarang atau belum pernah ciuman. Tetapi dia segera hanyut saling memagut dengan Mira. Mira yang mulai ahli melaqukan french kiss mengajari si Plengeh. Lidah Mira menerobos menelusuri rongga mulut si Plengeh.Gairah sex
“Mmmnh…” Mira mendesah Saat si Plengeh membalas ciumannya.
Si Plengeh mulai berani menyentuh Mira, dan Mira membimbing tangannya menelusuri leher dan dada. Tanpa sungkan, Mira membiarkan jemari si Plengeh mempelajari bentuk tubuh wanita. Si Plengeh menggenggam gumpalan buah dada Mira yang sebagian masih tertutup bra. Buah dada Mira lebih kecil daripada milik Jesse yang montok, dan lebih besar daripada milik Mey-Mey. Si Plengeh lalu menyelipkan tangannya ke balik bra dan mengeluarkan buah dada kiri Mira dari bra. Mira terpejam merasakan betapa kaqu gerak-gerik tangan si Plengeh.
“Mmm…” gumam Mira Saat merasakan remasan jemari si Plengeh menikmati kenyalnya buah dada.
“Aah… enak… terusin ya?”
Tubuh Mira tak berbohong, Mirap sentuhan si Plengeh memang memicu sensasi keasyikan. Berbeda dengan kedua wanita lainnya yang profesional, sejatinya Mira bukanlah seorang wanita penghibur yang membiarkan tubuhnya dijamah sembarang lelaki. Tetapi apa yang dirasakannya sekarang murni dari kepribadiannya sendiri yang telah berubah. Kini dia hanya memikirkan kenikmatan tubuh, dari semua jenis lelaki. Mira tak lagi hanya menjaga diri untuk suaminya. Dan dia sungguh terangsang melihat tatap mata orang-orang itu, yang seolah memujanya.bMira kembali mengecup si Plengeh, tersenyum, lalu menghentikan tangan si Plengeh. Pemuda itu menatap seolah tak rela.
“Kamu suka?” tanya Mira manja.
Godaan ditambah dengan dibukanya kaitan bra. Kedua buah dada Mira yang molek mencelat keluar, mengundang jamahan. Mira lalu menunduk, melepas pakaian dalemnya,dan tanggallah penutup kemaluannya itu. Mira bergerak mundur dan duduk dengan paha sedikit terentang di sofa. Jarinya bergerak memanggil si Plengeh untuk mendekat. Si Plengeh sekejap saja langsung maju dan mengikuti isyarat Mira, dia berlutut di antara kedua paha Mira. Dia mau mencoba mempraktekkan apa yang selama ini hanya dilihatnya sembari ngiler dalem film saru. Dia genggam kedua pergelangan kaki Mira dan dia angkat keduanya sehingga Mira jadi mengangkang di sofa. Lalu dia mulai menciumi paha mulus nan kenyal Mira, dari dekat lutut menuju pangkal. Dibelainya soft paha dan bokong Mira.
“Mbak cakep bingit,” bisiknya.
“Kenapa malu-malu? Jilatin itu… dong?” Mira memberi saran sembari menunjuk kemaluannya.
Si Plengeh segera merespon. Mira langsung bisa merasakan lidah si Plengeh menjilati celah kemaluannya. Soft sekali cara si Plengeh melaqukannya. Namun Mira menginginkan lebih. Jilatan si Plengeh naik, turun, mencecap khasnya rasa cairan kewanitaan. Mira cepat menyadari bahwa ternyata si Plengeh tak berpengalaman dan perlu diajari agar bisa lebih berani dan memperlaqukannya seperti yang dia mau. Aqu mau dia memperlaqukanku seperti lonte betulan.
“Kalau mau… mainin bokongku juga, ya? Boleh kok.” Mira mencoba mengarahkan perhatian si Plengeh ke bokongnya.
Si Plengeh tadi meremas dan menciumi bokong Mira, jadi Mira pikir si Plengeh mungkin suka.
“Tusuk pake jari kamu…” usul Mira.
Si Plengeh mundur dari kemaluan Mira dan mulai mengelus-elus bokong Mira dengan kedua tangan. Lalu dia dengan hati-hati melebarkan keduanya, sehingga lubang dubur Mira Tampak.
“Emm… Beneran boleh… ditusuk, Mbak?” tanya si Plengeh.
“Iya, silakan…” jawab Mira, lalu menyuruh, “Tusukin.”
Si Plengeh menempatkan jari tengah kirinya yang sudah dibasahi liur di lubang dubur Mira, lalu mendorongnya ke dalem. Mira sudah rileks dan bersiap ditembus sehingga jari si Plengeh bisa masuk.
“Eunghh,” keluh Mira dengan nada seksi kerana merasakan sensasi ganjil jari dalem dubur. “Umh enak.”
Lalu dia geser dan geliat-geliatkan pinggulnya sehingga jari si Plengeh masuk semakin dalem. Saat itulah si Plengeh menyadari Mira suka dibegitukan.
“Enak kah Mbak?” si Plengeh bertanya.
“Oh… iyah,” seru Mira.
Dia kemudian mendorong jarinya lebih dalem lalu menariknya sedikit. Saat dia mengulangi itu terus, semakin lama semakin kencang, Mira mengerang semakin keras. Jari si Plengeh sedang menyetubuhi dubur Mira.
“Terusss… ah terus,” seru Mira. “Tamparin bokongku juga…”
Si Plengeh ragu-ragu, lalu menepak soft bokong kiri Mira.
“Yang kencang!” kata Mira. “Ayo tampar!!”
Akhirnya, PLAKK!! Si Plengeh memberanikan diri dan mengemplang bokong Mira cukup keras.
“Segitu?” tanya si Plengeh.
“Ya… ayo lagi!” perintah Mira.
Dia berulangkali menampar bokong Mira dengan satu tangan, sementara jari tangan satunya tetap dalem lubang dubur Mira. Mira terangsang Saat merasakan sensasi perih nikmat seperti itu. Mira memperhatikan gembungan di selangkangan si Plengeh. Si Plengeh jelas terangsang juga.
“Ayo,” ajak Mira. “Entot aqu yah?”
Si Plengeh cepat-cepat menarik jarinya keluar. Mira turun dari sofa ke karpet, dan merentangkan pahanya untuk si Plengeh.
“Ohh… aqu pengen nih… masukin ya? Ayo dongg…”
“Ah… Mbak, Aqu, Aqu…” kata si Plengeh ragu, “Belum pernah…”
Mira meraih ke atas dan menarik wajah si Plengeh untuk dicium. “Kalau gitu biar aqu ajarin…”
Dibimbingnya si Plengeh untuk berposisi di atas tubuhnya, sembari digenggamnya kemaluan si Plengeh yang masih perjaka itu. Si Plengeh gemetar Saat merasakan Mira menggesek-gesekkan kepala kemaluannya ke belahan kemaluan.
“Sini… udah ada di sana, kamu dorong pelan-pelan ya?” kata Mira sembari menatap si Plengeh dengan mata berbinar. “Yahh… uahh besar-nya…” kata Mira, menyenangkan ego lelaki si Plengeh, selagi si Plengeh mulai merasakan surga dunia di selangkangan wanita untuk pertama kali.
“Ayo… semuanya dimasukin… oohhh!” Masuk semua-lah kemaluan si Plengeh ke kemaluan Mira.
Kenikmatan Mirada tara dirasakannya. Erangan Mira menambah panas suasana.
“Ayohh… Kamu gerak…”
Pinggul si Plengeh maju-mundur, kemaluannya menusuk-nusuk kemaluan Mira. Mira merangkul leher si Plengeh, lalu menaikkan kepalanya menjilati pentil si Plengeh. Buah dada Mira bergoyang-goyang akibat gempuran si Plengeh. Suara-suara penuh birahi mulai terlontar. Sepatu hak tinggi yang masih terpasang di kedua kaki Mira terayun-ayun. Si Plengeh terengah-engah. Si Plengeh terus menyetubuhi Mira selama beberapa menit, meremas buah dada Mira keras-keras dan menarik pentil. Pemuda jangkung Plengeh itu tak percaya dia sedang meniduri wanita pertamanya, seseorang yang begitu prety tetapi mau menerima dirinya. Segala kegagalan dan penolakan yang selama ini dirasakannya pun terlupa.
“Ah… Mbak… Mbak prety bingit… Ugh… Seksi…” komentarnya.
“Entot aqu… ahh… ah…” desah Mira.
Mira senang si Plengeh tak malu-malu lagi. Si Plengeh berada di atas tubuh Mira, kemaluannya menyeruduk kemaluan Mira. Pada saat yang sama dia memegang wajah Mira dengan kedua tangan dan menciumi Mira, lidahnya kembali menjelajah bagian dalem mulut Mira. Bisa terdengar dia mendengus dengan setiap dorongan ke dalem lubang kenikmatan Mira. Mira mulai berseru,
“YAHH! Entot… aquhh! Terus! Kemaluan kamu enak bingit! Uh!”
Lalu Mira meminta si Plengeh mencabut batangnya. Begitu keluar, Mira langsung menyambar kemaluan si Plengeh yang tegang dan mengocoknya. Mira menatap si Plengeh.
“Pernah dibegini’in ama cewek?” Saking senangnya, si Plengeh tak bisa menjawab, hanya mengerang keenakan.
“Apa kamu pernah ngentot?” tanya Mira yang menyadari betapa girang si Plengeh.
Si Plengeh menggelengkan kepalanya. “Nggak… Ini pertama kali.”
Mira terus mengocok kemaluan si Plengeh, semakin lama semakin cepat. Batangnya terasa membesar.
“Keluarin yah…” pinta Mira. “Aqu pengen peju kamu…”
Gerak tangan Mira semakin giat
“Ayo, tunjukin kejantanan kamu… Aqu pengen disembur peju kamu!”
Mungkin si Plengeh tidak pernah ejaqulasi selama berbulan-bulan. Setelah dikocokkan, hasrat tubuhinya meledak menyirami Mira. Burungnya memuncratkan enam atau tujuh gumpalan kental sperma, mendarat mulai dari atas pusar Mira, belahan dada, pangkal leher, sampai yang terakhir mengenai dagu dan bibir Mira. Percikan yang jatuh di bibir langsung dijilat Mira dan sembari menatap si Plengeh, Mira menunjukkan bahwa dia mencecap dan menelan mani si Plengeh.
“Mmm… aqu suka peju…” komentar Mira.
Pada saat ejaqulasinya selesai, sebagian besar sperma si Plengeh bertebaran di atas tubuh Mira, mengalir turun dari dada dan perutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar