Cerita Plus Plus

Cerita Seks dan 17 Plus Plus Cerita Panas Cerita Dewasa Cerita Ngentot Pengalaman ML Pengalaman Sex Pengalaman Seks Meniduri Pembantu

window.open('http://graizoah.com/afu.php?zoneid=3334601')

Kamis, 05 September 2013

The Party Must Over


Beberapa hari setelah pulang dari Pangandaran,
setelah jam makan malam aku dipanggil Bapak kostku. Kupikir tumben
malam-malam begini Bapak memanggilku. Sudah beberapa malam aku memang
tidak ke rumah induk, JJM ke Bogor cari suasana yang baru. Biasanya
hampir tiap malam, meskipun sebentar aku menyempatkan numpang nonton
berita di TV agar tahu kondisi terkini.
“Duduk, To!” katanya datar.
Suasana kurasakan agak asing, tidak seperti biasanya. Biasanya
tanpa disuruHPun aku sudah duduk, bahkan kadang tiduran di lantai.
Akupun duduk di depannya. Ibu kosku duduk agak jauh dari tempat kami.
“Saya mau tanya, jawab dengan jujur!” katanya lembut tapi tegas. Aku diam saja, tapi debaran jantung mulai meningkat.

“Langsung saja. Saya mulai denger bisik-bisik, kalau kamu
belakangan ini sering pergi dengan Ibu Heni?” Aku tercekat, tidak bisa
mengeluarkan suara apapun.

“Eee.. Eehh..,” aku tergagap.
Pantas saja kemarin waktu aku jalan di gang, ada tetangga yang
melihatku dan memberikan isyarat pada teman bicaranya. Aku sebenarnya
bukan orang yang sensitif, namun kata-kata Bapak kosku mengingatkanku.
“Tadinya saya senang kamu bisa membantu mengajari Eka. Tapi tidak
kukira kalau kamu kemudian memanfaatkan kesempatan ini. Sayang sekali
kalau kuliahmu sampai terganggu, lagian Ibu Heni kan sudah berkeluarga.
Kenapa sih kamu tidak cari yang masih single saja?”
Aku hanya diam dan semakin menundukkan kepalaku. Setelah Bapak kosku berbicara panjang lebar menasehatiku, akhirnya dia berkata.
“Saya anggap kamu sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Ya sudah,
mulai sekarang jauhi dia. Saya tidak melarang kamu mengajari Eka, tapi
jangan bikin affair dengan ibunya lagi. Tentu kamu pernah dengar gosip
tentang hubungannya dengan seorang pejabat. Namun demikian semuanya
terpulang kepadamu, apapun yang kau putuskan. Saya memberi nasehat
bukan karena saya pandai, namun lebih karena saya sudah lebih dahulu
lahir dan lebih dahulu menikmati masa muda!”

Aku kembali ke kamar dengan kepala berdenyut-denyut. Tapi kupikir
benar juga. Dalam hal ini memang aku yang salah. Apapun alasannya.
Sampai malam aku masih memikirkan ucapan Bapak kosku dan berpikir
tentang hubungan gelapku dengan Hanny ke depannya.
Esoknya aku menyempatkan diri bertemu dengan Hanny dan kami janjian
di sebuah kafe di Bogor. Aku berbicara panjang lebar mengulangi apa
yang sudah kudengar tadi malam. Mukanya terlihat keruh, matanya mulai
sembab dan berair.

“Aku tahu bahwa hubungan kita ini memang tidak benar dilihat dari
sisi manapun. Namun aku juga tidak dapat menahan dorongan dari hatiku
untuk selalu bertemu dan berbagi kenikmatan denganmu. Kalau harus
berpisah begitu saja, untuk saat ini aku tidak sanggup. Lebih baik kita
kurangi frekuensi pertemuan dan lebih berhati-hati memilih waktu dan
tempat pertemuan,” katanya sambil terisak. Aku hanya diam dan
menggenggam jarinya.

Akhirnya kami sepakat untuk mengurangi frekuensi pertemuan dan lama
waktu pertemuan. Sejak itu kami bertemu dua atau tiga minggu sekali dan
itupun tidak dalam waktu yang lama. Selesai menumpahkan gairah, maka
kamipun segera pulang secara terpisah. Namun kadang dia masih meminta
kenikmatan ekstra sekali lagi dan kuberikan dengan Quicky.. Quicky.
Perlahan-lahan bisik-bisik tentangku pun menghilang.
Akhirnya setelah setahun setengah tinggal di kosku tersebut akupun
dinyatakan lulus dan sebulan lagi akan ada wisuda. Ketika bertemu maka
kuberitahukan kepada Hanny tentang kelulusanku dan iapun mengucapkan
selamat, “Selamat ya, sarjanaku. Nanti aku akan memberikan hadiah yang
khusus buatmu”.

Menjelang wisuda akupun sudah melamar kerja di Jakarta dan diterima
sebagai staf pembukuan di sebuah perusahaan yang berkantor di sekitar
Harmoni. Namun aku minta agar dapat mulai bekerja setelah wisuda saja.
Tiga hari setelah wisuda Hanny memintaku untuk bertemu.
“Aku sebenarnya tidak mengharapkan kita berpisah. Namun aku juga
sadar bahwa jalan hidupmu tentu tidak bisa aku yang mengaturnya. Aku
kali ini ingin bercinta denganmu, mungkin untuk terakhir kalinya.
Kalaupun nanti kita masih bertemu aku sangat senang, namun kalau tidak,
pertemuan ini menjadi kenangan yang indah bagiku. Aku ingin semalaman
memelukmu. Aku sudah mencari alasan untuk pergi selama sehari semalam.
Kalaupun orang atau bahkan Pak Edi tahu aku sudah siap dengan segala
resikonya,” katanya.

Ia mengajakku untuk menginap di sebuah hotel di Ancol. Rupanya ia
sudah memesan kamar khusus. Setelah kami masuk ke dalam kamar, maka aku
menjadi sangat terkejut melihat suasana kamar. Sebuah kamar dengan
pandangan ke laut, sebuah ranjang bundar dengan bed cover merah muda
dan langit-langit kamar yang dilapisi cermin. Kupikir ia mengeluarkan
uang cukup banyak untuk kencan terakhir ini.
Ketika aku masuk ke kamar mandi, Hanny masih merapikan ranjang.
Entah apalagi yang diperbuatnya. Baru pada saat kembali ke dalam kamar
aku merasakan suatu perasaan yang very very excited. Kucium harum bunga
melati dan kulihat ia sedang menaburi ranjang dengan bunga melati.
Kupeluk ia dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku
ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia
mengenakan baju panjang warna krem dengan ritlsuiting di depan dada
sampai sebatas perut. Celana panjangnya berwarna hitam dengan sepatu
hak tinggi di bawah telapak kakinya.
Kubawa ia ke jendela sambil melihat Teluk Jakarta di waktu siang menjelang sore. Kucium tengkuknya dan ia menarik napas panjang.
“Hhmmh.. Anto”.

Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang
merah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman
dengan lembut namun penuh gairah terpendam. Ia merogoh kantung
celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya.
“To ini diminum dulu agar kamu bisa memuaskanku sampai besok pagi”.
Aku menolaknya. Kupikir badanku saat ini dalam kondisi fit. Kalau
untuk tiga atau empat pendakian sampai esok pagi rasanya masih mampu.
Kalau ia ingin lebih, biarlah aku menunda kepuasanku dan kupuaskan ia
terlebih dahulu sampai ia menyerah.
“Nggak usah Han, kalau kamu ingin lebih aku akan menunda orgasmeku dan memuaskanmu dahulu”.

Kutarik ritsluiting baju di depan dadanya dengan gigiku dan
kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka
berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna hitam yang
masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia
memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati
lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah.
“Ouhh Anto.. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Kita akan menikmatinya detik demi detik.. Ouhh!”
Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging
payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidak
mencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya
lagi.

“Anto.. Berikan lagi gigitan semutmu.. Aoouhh!”
Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap
berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih
tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat
tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup
dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang
sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah.
Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas
pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbuka
polos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi
punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang.
Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku
ke pipi kirinya. Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas
celananya dan celana dalamnya sekaligus, tapi kubiarkan sepatu hak
tingginya masih melekat di tumitnya. Tak lama celana dan celana
dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring
miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur
punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantat dan kugigit pelan. Hanny
menggelinjang.

Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang
berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera
kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia
membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku
ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku.
Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena
tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.
Kami berguling sedikit dan sebentar kemudian ia sudah berada di
atasku. Bibirnya lincah menyusuri wajah, bibir dan leherku. Hanny
mendorong lidahnya jauh ke dalam mulutku, kemudian menggelitik dan
memilin lidahku. Kubiarkan Hanny yang mengambil inisiatif menyerang.
Sesekali lidahku yang membalas mendorong lidahnya. Tanganku
meremas-remas payudaranya.

“Auhh, Ayolah Anto.. Terus,” ia merintih pelan.
Kemaluanku mulai menegang dan mengeras. Kukulum payudaranya
semuanya masuk ke dalam mulutku, kuhisap dengan kuat, putingnya
kumainkan dengan lidahku. Napasnya memburu dengan cepat. Detak jantung
kami semakin cepat meningkat.
“Ayo puaskan aku untuk saat-saat terakhir sayang.. Ahh.. Auuh!”
Hanny mendesis ketika ciumanku berpindah turun ke leher dan daun
telinganya.
Tangan kiriku mulai menjalar di pangkal pahanya, kumasukkan jari
tengahku ke belahan di tengah selangkangannya dan kugesek-gesekkan ke
dinding depan vaginanya.
“Ah sayang. Kamu liar dan nakal sekali”.

Sementara itu tangan kananku meremas halus buah dadanya. Tangannya
tak mau kalah memegang, meremas dan mnegocok kejantananku. Dengan ganas
aku menciumi seluruh bagian tubuh yang dapat kujangkau. Beberapa saat
kemudian ereksiku sudah mendekati maksimal. Kepalanya berdenyut
menantang lawan di depannya.
Jari tengah kiriku kugerakkan lebih cepat dan tubuhnya kemudian
meliuk-liuk menahan kenikmatan. Pinggulnya naik dan berputar-putar.
Tangan kananku memelintir puting payudara kirinya dan dan mulutku kini
menggigit puting kanannya. Sementara jari kiriku tetap mengocok lubang
vaginanya. Semakin cepat kocokanku, semakin cepat pula gerakan pantat
dan pinggulnya.

Permainan tangan kiriku kuhentikan dan kuarahkan kejantananku untuk
memasuki liang vaginanya. Sebentar kemudian dengan mudah aku sudah
menembus guanya yang panas. Pinggulku kugerakkan naik turun dan ia
mengimbangi dengan memutar pinggulnya dan menaik turunkan pantatnya.
Harumnya bunga melati sangat membantuku untuk lebih rileks namun
sekaligus juga sangat menimbulkan gairah tersendiri. Kakinya yang masih
memakai sepatu hak tingginya menjepit pahaku dan kadang dikangkangkan
lebar-lebar. Kuciumi leher dan dadanya. Beberapa kali kugigit sampai
meninggalkan bekas kemerahan. Aku akan menghujaninya dengan cupangan
pada sekujur tubuhnya.

Kucabut penisku dan kubalikkan tubuhnya, ia mengerti maksudku. Segera
ia nungging menaikkan pantatnya yang memang masih kencang. Kuposisikan
diriku di belakang pantatnya. Diraihnya penisku dan segera diarahkan
untuk menerjang guanya kembali. Kuterjang vaginanya dengan kocokan
lembut. Tanganku memegang pantatnya dan membantu menggerakkan pantatnya
maju mundur. Ia yang masih memakai sepatu hak tinggi kelihatan sangat
seksi, seperti adegan di BF.
Ia mulai menggelinjang dan mengejang lembut, kedua tangannya mencengkeram dan meremas sprei.
“Ouhh.. Sudah To.. Kita..”

Ia merintih ketika pantatku kugerakkan kebelakang sampai penisku
hampir terlepas dan kumajukan dengan cepat. Kuulangi beberapa kali lagi
dan iapun menekankan kepalanya miring di atas bed.
“To.. Kita kembali posisi.. Kita.. Aku..” ia menjerit dengan
kata-kata yang tidak jelas. Ia memintaku untuk kembali dalam posisi
semula.

Kembali kucabut penisku dan segera kurebahkan kembali dalam posisi
konvensional. Aku tahu ia, dan aku juga, hampir mengakhiri babak
pertama ini. Kami bergerak berputar-putar. Karena ranjang berbentuk
bundar maka kemanapun arah tidur kami tetap dapat memuat tubuh kami
berdua dengan nyaman. Setiap kulihat cermin di langit-langit, maka
akupun terpacu untuk membagi kenikmatan yang lebih kepadanya.
Bunyi crik.. crik.. crikk dari gelang kakinya semakin sering dan
kuat, memenuhi seluruh sudut kamar. Vaginanya kugenjot semakin cepat
dan kuangkat kaki kirinya dan kulipat sehingga lututnya menempel di
perutnya. Dengan satu kaki terangkat dan satu lagi dikangkangkannya
lebar-lebar ia semakin meracau.
“Ouahh.. Uuuhh!”.

Dinding vaginanya mulai berdenyut dan akupun sudah mencapai no
return point-ku. Sebuah titik dimana aku tidak bisa turun atau kembali
lagi, harus kucapai puncak itu. Kakinya yang tadi kulipat kukembalikan
lagi dan segera kedua pahanya menjepit pinggangku.
“Sekarang Han.. Aku mau kell.. lluu.. arr.. ghh,” aku menggeram keras.
Pinggulnya naik menjemput kejantananku. Kutekankan kejantananku dalam-dalam di vaginanya.
“Ouhh Anto.. Aku juga samm.. paaiihh!” iapun memekik kecil.
Jepitan kakinya semakin ketat dan denyutan di vaginanya terasa
meremas penisku. Hak sepatunya menekan paha belakangku.
Ditekan-tekannya pantatku ke bawah dengan betisnya. Setelah beberapa
saat kami sama-sama terkulai lemas bunga melati yang ditaburkannya tadi
sebagian menempel pada tubuh kami yang basah kuyup oleh keringat yang
membanjir.

Udara sejuk dari AC sangat membantu kami untuk mengembalikan
tenaga. Hanny masih mengusap dan mempermainkan bulu dadaku. Ia
berbaring miring di sebelahku dengan kaki kananya membelit kakiku.
Kupeluk bahunya dan kuusap-usap dengan lembut.
“Aku tidak ingin hari ini berlalu. Aku masih ingin bersamamu mengarungi samudra kenikmatan,” katanya sambil mengecup lenganku.
Setelah beberapa saat kemudian, maka napas dan detak jantung
kamipun kembali normal dan kami tidur berpelukan sampai hampir lupa
untuk makan malam. Jam tujuh malam aku terbangun dan perut terasa
lapar. Aku memesan makanan dari kamar saja. Setelah makan kuajak Hanny
untuk mandi dulu. Di bawah segarnya guyuran air hangat dari shower
terasa tenaga kami dengan cepat menjadi pulih kembali.

Tanpa mengenakan apa-apa kami kembali lagi ke ranjang bundar dan
Hanny sudah merengek minta untuk masuk babak berikutnya. Aku masih
menatap dan menikmati pemandangan tubuh aduhai yang sedang dalam
keadaan telanjang terlentang di sampingku. Ia naik ke atas tubuhku dan
mencium bibir, leher dan telingaku. Mulutku menghisap kedua
payudaranya, kugigit putingnya bergantian. Ia hanya melenguh dan gairah
kami berduapun mulai timbul.
Tangannya menyusup di sela pahaku, kemudian mengelus, meremas dan
mengocok penisku. Pantatku sesekali kunaikkan dan menahan napas.
Bibirnya mengarah ke leherku, mengecup, menjilatinya. Napasnya
dihembuskan dengan kuat ke dalam lubang telingaku. Kini dia mulai
menjilati putingku dan tangannya mengusap bulu dadaku kemudian menjalar
sampai ke pinggangku. Aku semakin terbuai kenikmatan. Kupeluk dan
kuusap pungungnya dengan kuat.

Tangan kiriku dibawanya ke celah antara dua pahanya. Jari tengahku
masuk, mengusap dan menekan bagian depan dinding vaginanya dan bersama
ibu jari menjepit dan memilin sebuah tonjolan daging sebesar kacang.
Setiapkali aku mengusap dan memilinnya Hanny mendesis keras.
“SShh.. Ouhh.. Sshhss”
Ia melepaskan tanganku dari selangkangannya. Mulutnya bergerak ke
bawah, menjilati perutku. Tangannya masih mempermainkan penisku,
bibirnya terus menyusuri perut dan pinggangku, semakin ke bawah dan
kemudian mengecup kepala penisku. Lidahnya membelah masuk ke lubang
kencingku. Aku merasa seperti disengat aliran listrik tegangan tinggi
dan secara refleks mengencangkan ototku. Dua buah telur yang
menggantung di bawahnya kemudian diisapnya. Aku hanya menahan napasku
setiap ia mengisap telurku.

Hanny kembali bergerak ke atas, tangannya masih memegang dan
mengusap kejantananku yang telah berdiri tegak. Kembali kami berciuman.
Buah dadanya kuremas dan putingnya kupilin dengan jariku sehingga dia
mendesis perlahan dengan suara merintih.
“SShh hhiihh.. Ssshh.. Ngghh..”
Perlahan lahan diturunkankan pantatnya sambil memutar-mutarkannya.
Kepala penisku dipegang dengan jemarinya, kemudian digesek-gesekkan di
mulut vaginanya. Terasa sudah mulai lembab karena cairan dinding
vaginanya. Dia mengarahkan kejantananku untuk masuk ke dalam vaginanya.
Ketika sudah menyentuh bibir guanya, maka ditekannya pantatnya
perlahan. Akupun menaikkan pantatku menyambutnya.
Hanny merenggangkan kedua pahanya dan segera kepala penisku sudah mulai menyusup di bibir vaginanya.
“Ayolah Hanny.. Dorong.. Aku akan menyambutnya dari bawah..!!”
Hanny semakin menekan pantatnya dan peniskupun semakin dalam masuk ke lorong nikmatnya.
“Ouhh.. Hanny,” desahku setengah berteriak.
Hanny bergerak naik turun dan memutar. Perlahan-lahan kugerakkan
pinggulku. Karena gerakan memutar dari pinggulnya maka penisku seperti
disedot sebuat mulut pusaran. Hanny mulai mempercepat gerakannya, namun
kupegang dan kutahan pantatnya, kemudian aku yang mengatur kecepatan
gerakan pantatku dari bawah dengan perlahan. Hanny membuat
denyutan-denyutan di dalam lubang vaginanya.

“Hanny.. Pelan saja. Kita nikmati saat-saat ini” desisku sambil mencium dadanya.
Aku ingin mengantarnya mengarungi samudra percintaan. Kami saling
menjepit sebelah kaki dengan dua kaki kami. Kaki kirinya kujepit dengan
kakiku dan demikian juga kaki kiriku dijepit dengan dua kakinya. Dalam
posisi ini ditambah dengan denyutan pada kemaluan kami masing-masing
terasa nikmat sekali. Kepalanya direbahkan di dadaku dan mengecup
putingku.
Tanganku menarik rambutnya kebelakang sampai kepalanya terangkat.
Kucium dan kuremas buah dadanya yang menggantung. Setelah kujilat dan
kukecup lehernya kulepaskan tarikan pada rambutnya dan kepalanya turun
kembali kemudian bibirnya mencari-cari bibirku. Kusambut mulutnya
dengan satu ciuman yang dalam dan lama.

Hanny kemudian mengatur gerakannya dengan irama lamban namun
disertai dengan denyutan pada dinding vaginanya. Pantatnya diturunkan
sampai menekan pahaku sehingga penisku terbenam dalam-dalam menyentuh
dinding rahimnya.
Ia menegakkan tubuhnya sehingga ia dalam posisi duduk setengah
jongkok di atas selangkanganku. Ia kemudian menggerakkan pantatnya maju
mundur sambil menekan ke bawah sehingga penisku tertelan dan bergerak
ke arah perutku. Rasanya seperti diurut dan dijepit sebuah benda yang
kuat namun lunak. Semakin lama-semakin cepat ia mengerakkan pantatnya,
namun tidak ada kasar atau menghentak-hentak. Darah yang mengalir ke
penisku kurasakan semakin cepat dan mulai ada aliran yang merambat di
sekujur tubuhku.

“Ouhh.. Ssshh.. Akhh!” Desisannyapun semakin sering.
Aku tahu sekarang bahwa iapun akan segera mengakhiri pertarungan
ini dan menggapai puncak kenikmatan. Aku menggeserkan tubuhku ke atas
sehingga kepalaku menggantung di bibir ranjang. Ia segera mengecup dan
menciumi leherku.
“Anto.. Sebentar lagi kita akan berlabuh.. Ouhh!”
Desiran dan aliran di saluran kencingku makin kencang.
Aku bangkit dan duduk memangku Hanny. Penisku kukeraskan dengan
menahan napas dan mengencangkan otot antara buah zakar dan anusku. Ia
semakin cepat menggerakkan pantatnya maju mundur sementara bibirnya
ganas melumat bibirku dan tangannya memeluk leherku. Tanganku memeluk
pinggangnya dan membantu mempercepat gerkan maju mundurnya. Ia sedikit
mengangkat lutunya dan berteriak keras.
“Antokkhh.. Ayo.. Berikan aku..”

“Hanny.. Sekarang.. Kuberi.. Kkhhan..!”
Kutarik tubuhnya dan kembali kurebahkan tubuhnya ke atas tubuhku,
matanya melotot dan bola matanya memutih. Giginya menggigit bahuku
dan..
“Anto.. Sekarang sayangku.. Sekarang.. Hhhuuaahh!”
Ia kini memekik kecil. Pantatnya menekan kuat ke bawah. Dinding
vaginanya berdenyut kuat menghisap penisku. Aku menahan tekanan
pantatnya dengan menaikkan pinggulku. Bibirnya menciumiku dengan ciuman
ganas dan sebuah gigitan pada bahuku. Satu aliran yang sangat kuat
membersit lewat lubang meriamku. Kupeluk tubuhnya erat-erat dan
kutekankan kepalanya di dadaku. Napas yang putus-putus terdengar dan
setelah sebuah tarikan napas panjang ia terkulai lemas di atas tubuhku.
Keadaan menjadi sunyi.

Sisa malam itu masih kami isi dengan dua kali percumbuan yang
panjang. Percumbuan terakhir sekitar jam lima pagi dengan foreplay yang
lama dan kami mengejang bersama sekitar jam tujuh pagi. Kami berendam
di bath tub dengan berpelukan dan jari tangan saling meremas. Selama
mandi pagi ia menyabuni tubuhku dengan mesra.
“Anto.. Kalau saja setelah bekerja kamu bisa tiap minggu ke Bogor, aku akan merasa sangat senang..”

“Hanny, akupun tidak ingin hari ini berganti. Namun banyak hal yang aku harus lakukan untuk masa depanku”.

“Aku mengerti To, tapi rasanya cepat sekali kita bersama dan sekarang kita sudah berpisah”.

“Ada saat bertemu dan ada saat berpisah, dan lagi meskipun akau tetap di Bogor kita tidak akan bisa selamanya begini”.
Ia terdiam dan tidak berbicara apa-apa lagi sampai kami selesai
mandi. Hannypun kelihatan sangat berat hati ketika kami sama-sama
pulang ke Bogor.
Seminggu kemudian aku sudah siap masuk kerja dan akupun pamit
kepada Bapak kos dan beberapa tetangga yang mengenalku. Ketika aku
pamitan dengan keluarga Pak Edi, aku masih sempat dipersilakan duduk
dan mengobrol dengan Pak Edi selama setengah jam. Ia sangat berterima
kasih kalau aku sudah membantu Eka anaknya, sehingga kini prestasinya
terbilang cukup bagus di kelasnya. Ia sangat menyayangkan kalau aku
bekerja di Jakarta dan menyarankan agar aku bisa bekerja di Bogor saja.
Andai aku bisa..

Ketika aku mohon diri, disalaminya aku dengan erat. Eka juga
memelukku dengan menitikkan air mata. Kuusap kepalanya dan kukatakan,
“Eka harus belajar lebih rajin ya! Terima rapor cawu depan harus
ranking satu!”
Hanny menyalamiku dengan tangan bergetar dan menggigit bibir
bawahnya. Ia tidak sanggup menatapku. Akupun tidak berlama-lama lagi
dan kembali ke kamarku.

Akupun pindah ke Jakarta, bekerja dan wanita-wanita datang dan
pergi silih berganti di dalam hidupku seperti yang sudah kukisahkan
dalam kisahku yang terdahulu. Baik ketika aku masih menjalin hubungan
dengan Hanny maupun ketika aku sudah bekerja di Jakarta (Wanita Penjaga
Showroom, Agen Asuransi, Wanita Indonesia 1-8 dan Aku Oase Para Wanita
Bersuami 1-3).

Beberapa bulan kemudian ketika aku mengikuti diklat di Puncak, aku
sempatkan untuk mampir ke tempat kosku dulu. Bapak kosku terlihat
senang karena aku masih ingat dengan keluarganya. Ketika kusinggung
tentang keluarga Pak Edi, ia menarik napas dalam-dalam. Pak Edi pindah
rumah setelah Ibu Heni, Hannyku, tertangkap basah sedang bergumul dalam
keadaan tanpa busana dengan seorang mahasiswa adik kelasku di atas sofa
ruang tamunya.
Ahh! Anto dulu kamu juga pernah merasakan empuknya sofa itu dan tentu saja kehangatan tubuh Ibu Heni di tempat yang sama!
*****


E N D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar