Namaku Endrik. Tinggiku 170cm/55kg. Aku berumur 18 tahun, dan baru
saja masuk kuliah di fakultas teknik salah satu universitas di Malang.
Kulitku agak gelap, meski orang menyebutku manis tapi aku lebih suka
menyebut kulitku hitam. Aku punya teman cewek. Aku berteman dengan dia
dari masih SD. Rumah kami jaraknya cuma sekitar 300 m, hanya saja
rumahnya jauh lebih besar dari rumahku karena dia anak orang terpan-
dang di daerahku. Sebut saja namanya Ana (aku sengaja menyembunyikan
identitasnya karena aku tidak meminta ijin padanya untuk menceritakan
pengalaman seksual kami). Usianya 19 tahun. Kami berteman sangat akrab
sampai-sampai tetanggaku mengira kami pacaran padahal aku tidak pernah
pacaran dengan dia. Aku diam saja dikira pacaran dengannya, habis dia
cantik sih. Mungil, sekitar 155 cm, dan langsing (kutaksir beratnya
tidak sampai 50 kg) dan wajahnya manis banget meski kulitnya tidak
begitu putih. Dengan rambut sebahu yang hitam, dia bisa dimasukkan
kategori cantik.
Setelah lulus SMU dia masuk akademi keperawatan di Nganjuk. Otomatis
sejak lulus SMU aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sampai pada
suatu hari aku punya kesempatan bertemu dengannya.
Aku secara rutin tiap 2 minggu sekali pulang ke kota asalku Kediri.
Dia malah jarang sekali pulang karena di Nganjuk dia tinggal bersama
bapaknya (orangtuanya sudah bercerai). Di Kediri dia tinggal bersama
keluarga ibunya. Seperti biasa setiap aku pulang kampung aku selalu
main ke rumah temanku, dan dari temanku aku diberitahu bahwa Ana juga
berada di rumah. Aku tidak ada rasa apa-apa mendengar kepulangannya,
tapi aku lalu iseng-iseng menelphon ke rumahnya. Dia sendiri yang
mengangkat telephonnya. Setelah ngobrol-ngobrol aku lalu disuruh ke
rumahnya.
Dia menyambut kedatanganku dengan memakai celana pendek dan t-shirt
yang menurutku kekecilan. Dadanya tidak terlalu menonjol karena uku-
rannya memang kecil. Ia tersenyum kepadaku dan akupun membalas senyu-
mannya. Saat itu sekitar jam 9 pagi. Percakapan dilakukan di teras
rumahnya. Ibu dan neneknya di rumah sebelahnya (rumahnya memang 2
buah, satu buat Ana, kakak perempuannya, dan ibunya, satunya lagi buat
kakek, nenek, serta pamannya).
"Gimana kabarnya?" sapanya ramah.
"Biasa. Cuma begini-begini saja," sahutku.
"Kerasan di Malang?"
"Kerasan nggak kerasan ya harus kerasan," jawabku asal.
"Sudah dapat cewek belum?" tanyanya sambil tersenyum.
"He...he...belum. Kamu sendiri gimana? Masih jalan sama Ony?" aku
balik bertanya.
"Masih," jawabnya ringan.
Ony adalah pacarnya sejak kelas 3 SMU. Dia juga temanku sejak SD,
hanya saja dia melanjutkan di STM, sedangkan aku di SMU. Menurut
cerita Ana sendiri kepada teman kostnya waktu SMU, dia dan Ony sudah
sering melakukan hubungan suami isteri. Mungkin karena dari keluarga
broken home, maka dia merasa enteng saja melakukan semua itu. Aku
ngeri sendiri membayangkan mereka, jangankan berhubungan intim, menci-
um cewek saja aku belum pernah, padahal aku sudah pernah dua kali
pacaran. Aku memang terlalu penakut kalo berurusan dengan soal begitu-
an.
"Kenapa nggak cari pacar?" tanyanya antusias, mungkin kasihan karena
aku sudah lama sendiri.
"Anak teknik kebanyakan cowok, kalaupun ada ceweknya, mereka kelihatan
seperti cowok daripada seperti cewek."
"Ooooo......"
"Oo.....juga," kataku. Dia tersenyum.
"Memangnya pacaran itu buat apa sih?" tanyaku berlagak tidak tahu.
"Biar ada yang menemani setiap saat."
"Menemani apa? Memang takut kalo nggak ditemani?"
"Banyak. Dalam segala hal."
"Contohnya?"
"Nonton, dinner, dan....." dia tidak meneruskan perkataannya, tetapi
tersenyum sambil memandangku.
"Dan apa?" tanyaku sambil membalas senyumannya. Pikiranku sudah mulai
ngeres.
"Tidur," jawabnya tenang.
"Tidur? Memang kamu pernah.....sama Ony?" Aku pura-pura tidak tahu.
"Pernah lah. Habis enak sih. Sampai ketagihan," jawabnya enteng.
Wah ini bukan Ana yang kukenal waktu dulu. Dia sudah banyak berubah,
padahal dia dulu dikenal sebagai cewek pendiam.
"Sudah, jangan membahas masalah itu," aku mencoba mengalihkan topik
pembicaraan karena aku merasa nggak enak bila membahas hal itu dengan
teman baikku.
"Kenapa? Takut pingin? Klo kamu sudah pernah pasti kamu nggak tabu
lagi ngomongin hal itu," sambungnya.
"E.....nggak tau lah."
Untungnya dia benar-benar mau mengalihkan topik pembcaraan. Kami
membicarakan temen-teman SMP kami. Mantan-mantan pacarnya, serta
mantan-mantan pacarku. Sampai akhirnya dia mengajakku ke kebun di
belakang rumahnya. Rumahnya memang memiliki kebun buah yang luas dan
rimbun. Kami berjalan melewati dapur dan aku memberi salam pada ibu
dan neneknya. Kakek dan pamannya basanya ke sawah pada jam-jam segini.
Keluarganya memang sudah akrab denganku karena aku dulu sering main ke
sana. Kami berjalan menuju sumber air yang ditampung dalam sebuah
kolam kecil. Kolam itu memiliki dinding penutup setinggi setengah
meter dan memiliki tempat duduk di salah satu sisinya. Dulu waktu SD
kami sering mandi bersama di situ. Di luar bangunan itu ada kolam lain
yang lebih luas dan diisi ikan.
"Tempat ini masih awet ya...," kataku membuka keheningan.
"Dirawat sama kakek. Ingat nggak waktu kita dulu mandi bersama?"
"Ingat. Waktu itu kamu suka berendam berlama-lama di sini. Bahkan aku
sudah kedinginan tapi kamu tetap memaksaku menemanimu berendam."
"Yeee siapa lagi yang maksa. Kamu sendiri yang betah berlama-lama
berendam bersamaku," jawabnya nggak mau kalah. Kami tertawa bersama,
dan tiba-tiba dia menyiramku dengan gayung yang terletak didekatnya.
"Hei. Basah nih," kataku.
"Biarin," katanya sambil tersenyum menggoda.
"Kubalas nih," ancamku.
"Silahkan kalau berani," tantangnya.
Aku lalu mendekat ke arahnya dan mencoba meraih gayung yang dipegang-
nya. Maksudku biar dia tidak menyiramku lagi, tapi dia menghindar
dan..... blung. Dia tercebur kolam.
"Ha...ha....rasain. Kuwalat," godaku.
"Gara-gara kamu nih jadi basah semua," katanya sambil berdiri dari
kolam yang dalamnya cuma satu meter tersebut.
Kupikir dia akan kembal ke rumah dan berganti pakaian, ternyata dia
tanpa canggung melepas t-shirt dan celana pendeknya di depanku! Dadaku
berdegup kencang. Aku tidak bisa berkata apa-apa yang jelas kemaluanku
langsung tegang dan rasanya sakit karena aku memakai celana jeans.
"Ayo kita mandi seperti dulu lagi," ajaknya. "Kamu harus mau, soalnya
kamu telah membuat bajuku basah," sambungnya.
Otakku berpikir keras antara ya atau tidak. Aku tidak bisa berpikir.
Mataku hanya memandang ke tubuhnya yang tinggal memakai BH dan CD.
"Cepetan. Atau kamu mau duduk saja di situ sambil melihat aku mandi?"
Aku melepas t-shirtku dan celana jeansku. Kini aku tinggal memakai CD.
Aku takut kalau ada orang yang melihat, tapi karena Ana cuek aja aku
mencoba menepis perasaan takutku itu.
"Hiii.....apa itu....?"tunjuknya ke arah CD ku sambil tersenyum.
Astaga, seperempat burungku sudah keluar dar CD. Aku malu sekali.
"Dilepas aja sekalian. Nanggung daripada cuma kelihatan sedikit seper-
ti itu," bujuknya.
"Kamu juga harus melepas semuanya dong," balasku.
Tanpa kusangka dia melepas BH dan CD nya. Tubuhku langsung panas
dingin melihat pemandangan seperti itu. Pemandangan yang terakhir kali
kulihat sewaktu aku masih SD. Aku lalu juga melepas CD ku, lalu masuk
ke kolam dan langsung berendam. Soalnya rasanya aneh burungku dilihat
orang lain. Dia cuma tersenyum, dan duduk berendam di sampingku. Aku
tidak bisa berkata apa-apa karena nafsu sudah di ubun-ubun dan rupanya
Ana mengetahui hal itu.
"Maukah kamu....?" tanya Ana terputus.
"Apa?"
"Berhubungan denganku," jawabnya.
Aku cuma diam saja, lalu tersenyum. Rupanya dia mengerti isyaratku
ini.
"Aku belum pernah Na."
"Makanya kamu harus mencoba," sarannya.
Ana lalu memegang burungku yang sedari tadi sudah tegang. Mengocoknya
pelan. Mataku terpejam. Merasakan nikmat selama beberapa menit. Aku
lalu merasakan kocokan itu berhenti. Kubuka mataku dan Ana telah
berdiri di depanku. Kulihat vaginanya hanya ditumbuhi sedikit rambut.
Ana lalu duduk tepat di pangkal pahaku. Kini kelamin kami berhimpitan.
Kepalaku rasanya makin tidak karuan, pingin segera penetrasi. Wajah
kami berdekatan. Berciuman. Aku tidak tahu harus berbuat apa ketika
berciuman karena memang baru pertama kali itu. Ana melepas ciumannya.
"Kamu kok diam aja? Nggak suka ya sama aku?" tanya Ana agak marah.
"Nggak Na. Aku belum pernah berciuman," jawabku.
Ana kembali menciumku. Kali ini bibirku agak kubuka karena terdorong
oleh lidahnya. Tangan kananku meraba dada kirinya sementara tangan
kiriku mengusap-usap punggungnya. Kedua tangan Ana berada di leherku.
Ana berdiri lalu menggandengku menuju ke tempat duduk di tepi kolam.
"Na aku pingin masukin sekarang," pintaku karena aku sudah merasa
sangat terangsang. Padahal aku tidak tahu apakah dia sudah siap atau
belum.
Ana merebahkan diri di tempat duduk lalu membuka pahanya lebar-lebar.
Kulihat vaginanya agak terbuka. Aku langsung memposisikan kepala
burungku tepat di gerbang kewanitaannya.
"Masukkan Ndrik," perintahnya.
Aku hanya melihat lubang kecil sebesar jari telunjukku. Itulah yang
namanya lubang vagina, begitu pikirku. Kumasukkan kepala burungku.
Perlahan. Separuh sudah masuk. Mudah sekali masuknya? pikirku.
Mungkin karena Ana sudah sering melakukannya dengan Ony atau ukuran
burungku yang kecil, cuma 18 cm pembaca, dengan bentuk agak pipih dan
melengkung serte kepalanya sedikit "menoleh" ke kiri.
"Ahhh......." desahnya.
Kutekan lagi hingga kedua bulu kelamin kami bersatu. Tangannya meme-
gang erat pinggangku. Kutarik perlahan, lalu kubenamkan lagi seluruh-
nya. Setiap kali kutarik atau kubenamkan kudengar Ana mendesah. Aku
merasa burungku seperti digenggam dengan erat. Kulihat mata Ana terpe-
jam menikmati sensasi yang kita ciptakan berdua. Aku merasa bahwa aku
ingin segera mengeluarkan spermaku. Kupercepat kocokanku dan kudengar
desahan Ana semakin keras dan cepat. Tapi karena begitu semangatnya
mengocok, burungku sampai terpeleset dan keluar dari liang vaginanya.
Ana membuka matanya lau tersenyum kepadaku.
"Maaf Na, masih pemula," kataku membela diri.
Kumasukkan kembali burungku. Ana memejamkan matanya lagi. Kali ini aku
lebih hati-hati tapi tetap dalam kecepatan tinggi karena aku ingin
segera menyelesaikan hal ini karena takut ketahuan orang. Mata Ana
kini terbuka tetapi tinggal putihnya. Aku takut karena dia seperti
orang kesurupan.
"Oooohhh.......oh.........." cuma itu yang kudengar dari mulutnya.
Ketika aku merasa spermaku mau ke luar, aku menghujamkan burungku
keras-keras dan dalam.
"Ahhhh...lega," kataku. Tapi kulihat Ana masih belum mengalami orgas-
me. sebab dia masih menggerak-gerakkan pinggulnya seolah minta ditusuk
lagi. Burungku terasa ngilu karena jepitan vaginanya, maka kutariklah
ia ke luar. Ana membuka mata sambil nafasnya masih terengah-engah.
Dari sorot matanya kelihatan bahwa ia minta untuk dituntaskan. Aku
memahami hal itu. Kulihat spermaku meleleh keluar dari lubang vagina-
nya. Aku lalu memasukkan jari telunjukku ke vaginanya.
"Ohhh.....," Ana kembali mendesah. "Ya Ndrik.Begitu enak."
Aku menggerakkan jariku seperti lagi menggaruk. Kemudian kuganti jari
telunjukku dengan jari tengahku dan kugerakkan menusuk-nusuk.
"Ahhhh........ah....," pahanya merapat. Rupanya Ana berusaha mengatup-
kan vaginanya karena tidak kuat menahan geli.
"Ndrik...gee....lii..Sssuuu..dah....dongggg. Aku
ngggakkk....tahannn...."
Ternyata ekspresi orang yang lagi menahan nikmat itu lucu ya. Ana
merem melek sambil tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku jadi
tersenyum sendiri, tapi lama-lama aku juga kasihan dan akhirnya kuhen-
tikan tusukanku. Ana membuka matanya sambil mengerutkan keningnya
seolah bertanya kepadaku.
"Please.....jangan dihentikan, aku sudah mau orgasme," kata Ana meme-
las.
Ana lalu memegang burungku yang ternyata masih tegak dan menuntunnya
memasuki lubang vaginanya.
"Eh....pelan-pelan," kataku. Sebab dia menariknya dengan cepat seolah
tidak mau kehilangan rasa nikmat akibat ulah jariku yang belum mampu
membuatnya tuntas.
"Eeeeehhh......" desahnya ketika separuh burungku memasuki vaginanya.
Kini posisinya di atasku. Dia menduduki penisku. Aku hanya diam saja,
sebab nggak tahu harus berbuat apa dalam posisi ini. Ana perlahan-
lahan menurunkan pantatnya sehingga burungku terbenam seluruhnya.
Hebat juga anak ini pikirku, bisa ganti-ganti posisi. Ana menggerakkan
pantatnya naik turun dengan cepat, dan semakin cepat. Burungku rasanya
seperti ditarik-tarik. Setiap kali pantatnya menyentuh pahaku terde-
ngar bunyi plak...plak.... Setelah beberapa menit berlalu kelihatannya
dia sudah mau orgasme. Desahannya semakin keras terdengar. ada rasa
khawatir juga kalo ketahuan ibunya.
"Eh..eh..eh...aaaaaa.....aahhhhhhhh," desahannya berhenti bersamaan
dengan mengalirnya cairan lubrikasi dari vaginanya. Ana telungkup di
dadaku dengan mata masih terpejam. Tinggal aku yang terlanjur 'naik'
butuh penyelesaian. Dengan burungku masih bersarang di dalam vagina-
nya, kubalikkan tubuhnya. Kini dia ganti berada di bawah. Kami dalam
posisi konvensional.
"Eh...mau ngapain lagi nih? Aku sudah lelah Ndrik," katanya.
Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Langsung saja kutusukkan burungku
dalam-dalam. Ana mengerang, entah menahan sakit atau menahan nikmat
aku tidak tahu. Kukocok dengan cepat burungku. Kembali kudengar desa-
hannya makin cepat. Dan akhirnya.....
"Ohhh......," desahku bersamaan dengan keluarnya spermaku.
"Ehhh...eh....," hanya itu suara Ana yang terdengar ketika burungku
kucabut dari vaginanya. Burungku terasa licin dan agak lengket. Aku
masuk ke kolam untuk membersihkan burungku. Kulihat Ana duduk di tepi
kolam dengan telanjang, hanya saja pahanya dikatupkan. Di sela sela
pahanya kulihat bulu halus yang basah oleh spermaku bercampur cairan
lubrikasi dari vagina Ana. Ia tersenyum kepadaku. Kubalas senyumannya
sambil memandangi tubuh bugilnya. Tubuh kecil dengan dada yang kecil
pula, tapi kurasa tubuhnya sangat proporsional.
"Thanks Ndrik," ucapnya membuka kebekuan suasana.
"Sama-sama Na. aku juga kamu beri pengalaman yang tidak bakalan aku
lupakan."
Kami lalu berpakaian. Ana tidak memakai CD dan BH nya karena basah. Ia
memasukkan keduanya ke dalam saku celana pendeknya. Kami menuju ke
rumahnya. Badanku rasanya segar sekali. Sepanjang perjalanan Ana
menggenggam tanganku erat-erat. Ia kelihatan bahagia.
"Bajumu kenapa Na?" tanya ibunya yang melihat baju Ana basah.
"Terpeleset di kolam bu," jawabnya sambil berlalu menuju kamarnya
untuk berganti baju. aku mengkuti Ana dari belakang, lalu setelah
sampai di depan pintu kamarnya aku berhenti. Ana masuk dan melucuti
pakaiannya tanpa menutup pintu dulu. Aku berusaha mengalihkan pan-
danganku. Maksudku supaya aku tidak terangsang lagi olehnya, tapi aku
tak kuasa melawan gejolak nafsuku. Aku kembali melihat tubuh bugil
Ana. Ana nak ke atas kasurnya dan merangkak berusaha menjangkau jende-
la. Rupanya dia bermaksud menutup jendela kamarnya yang menghadap ke
tempat cucian. Melihat pemandangan seperti itu burungku berdiri kemba-
li. Kulihat pantatnya yang bulat dan dadanya yang menggantung. Aku
mendekatinya dari belakang dan tangan kananku langsung menuju ke
selangkangannya.
"Hei....kamu nakal ya...." katanya kaget mendapat perlakuan begitu
dariku.
"Habis kamu sexy sih.." jawabku.
Tangannya berpegangan ke tepi jendela yang tidak jadi ditutupnya.
"Na, diam di situ ya. Aku pingin lagi nih," Ana hanya tersenyum. Aku
melepas celana jeans dan CD ku lalu kubiarkan tergeletak di lantai.
"Iiiiihh..kok cepet banget burungmu tegang?" Ana menggodaku.
Aku ingin sekali mencoba doggy style yang sering diceritakan di Ceri-
taSeru. Aku langsung memasukkan burungku ke vagina Ana yang tampak
indah bila dilihat dari belakang.
"Ooohhhh....pelan..pelan....Ndrik. Sakit," pintanya memelas.
Aku nggak tahu kenapa kok dia bisa bilang sakit, padahal sewaktu
permainan di kolam tadi dia tidak mengeluh sakit. Atau memang ada
perbedaan 'rasa' pada gaya konvensional dengan gaya (maaf) anjing?
(Ada pembaca yang bisa memberi alasan?)
"OK Na, aku masukkan pelan-pelan ya..."
"Ya...cepet ... Aku nggak mau ketahuan ibuku."
Blessss....Burungku sudah masuk tiga perempatnya. Nggak bisa masuk
semua karena terhalang pantatnya yang bulat. Langsung saja kukocok.
Seperti waktu di kolam, Ana mulai mendesah, hanya saja kali ini agak
lebih keras. Kulihat matanya terpejam. Mataku yang semula melihat ke
luar jendela akhirnya kututup juga agar bisa menghayati setiap sensasi
yang kurasakan. Sekitar tiga menit berlalu aku membuka mataku untuk
mengalihkan pikiran agar ejakulasiku bisa tertunda. Tetapi pemandangan
yang kulihat seakan menghentikan denyutan jantungku. Aku melihat ibu
Ana berdiri di luar jendela! Beliau diam saja sambil tetap memandang
kami. Pikiranku nggak karuan hingga aku harus menghentikan tusukanku.
Ana membuka matanya dan menoleh ke arahku.
"Kenapa berhenti Ndrik?" tanyanya tanpa tahu ibunya berdiri di hada-
pannya.
Aku tidak menjawab, hanya pandanganku tetap kuarahkan ke ibunya. Ana
kelihatannya penasaran dengan apa yang kulihat. Melihat ke depan
dan...
"Ibu....." kata itu keluar spontan dari mulut mungil Ana.
Burungku masih menancap di vagina Ana dan Ana masih tetap pada posisi
doggy style sambil berpegangan di tepi jendela. Aku tidak tahu harus
berbuat apa, begitu juga Ana. Kami berdua terdiam. Ibu Ana mendatangi
kami dari luar jendela.
"Kenapa berhenti Nak?" kata Ibu Ana. Aku nggak tahu apakah ini sindir-
an atau memang pertanyaan.
"Teruskan saja. Tadi bu ke sini karena mendengar suara Ana yang seper-
ti kasakitan, eh ternyata keenakan.." sambung ibu Ana sambil tersenyum
dan meninggalkan kami.
Sukar dipercaya. Semula aku mengira akan dimarahi atau bahkan diusir.
Ana masih bengong. Ia masih tidak percaya ibunya tidak marah melihat
perbuatannya denganku.
"Gimana Na?" tanyaku.
"Teruskan saja..... Toh Ibu nggak marah."
Pergumulan kami pun berlanjut. Aku hanya sekali saja mengeluarkan
spermaku kali ini. Kami tidak takut-takut lagi. Kubiarkan Ana menge-
luarkan erangannya keras-keras. Ana sangat menikmati permainan ini
karena sudah tidak ada perasaan was-was di hatinya. Pukul setengah
tiga sore aku terbangun dengan hanya mengenakan t-shirt. Ana masih
memelukku dengan erat dalam kondisi telanjang. Kupandangi tubuhnya,
dadanya, dan wajahnya yang manis. Sungguh beruntung pacarnya yang bisa
meminta kehangatannya setiap saat. Kubangunkan Ana karena aku mau
berpamitan pulang, tapi kelihatannya Ana sangat kelelahan. Aku jadi
tak tega membangunkannya. Aku mengenakan selimut untuk menutup tubuh
telanjangnya dan kukecup kening Ana. Kukenakan pakaianku lalu aku
segera menuju teras tempat motorku diparkir. Kulihat Ibu Ana menyapu
halaman. Kuhampiri beliau untuk berpamitan.
"Kok buru-buru pulang Mas Endrik...." Beliau berkata seolah-olah tidak
ada apa-apa di antara aku dan anaknya.
"Sudah sore Bu..."
"Sudah sore atau sudah puas..?" Goda Ibu Ana dengan senyum nakalnya.
"Bener Bu, sudah sore..."
"Kapan-kapan main lagi ke sini ya..."Kata beliau sambl memandangku
lekat-lekat.
"Ya kalau Ana pulang Bu.." Aku tidak berani menatap beliau. Ada sema-
cam perasaan berdosa.
"Kalo Ana nggak pulang kan bisa main sama tante..."
Hah...? Apa aku nggak salah dengar? Ibu Ana memang terlihat masih
cantik di usianya yang mendekati empat puluh. Apa ini sebuah ajakan
dari seorang wanita yang merindukan belaian hangat laki-laki? Atau
hanya sebuah godaan? Aku tidak tahu pasti. Beliau memang sudah bercer-
ai cukup lama dengan ayah Ana, sekitar tiga tahunan lah. Jadi cukup
wajar bila beliau ingin disentuh.
"Ya kalau pulang dari Malang saya sempatkan mampir ke sini Bu," jawab-
ku sambil tersenyum.
"Janji lho ya....."
"Ya Bu.." aku langsung menghidupkan motorku dan beranjak pulang.
Sampai sekarang aku tidak pernah main lagi ke rumah Ana, sebab Ana
tidak pernah pulang lagi. sebenarnya pengalamanku dengan Ana membuatku
sangat ingin mengulangi hubungan intim tersebut. Mungkin benar yang
dikatakan oleh Ana bahwa orang yang pernah berhubungan intim pasti
akan ketagihan (Benar nggak pembaca?), dan sekarang aku benar-benar
ketagihan. Bila nafsu seksualku sudah sedemikian memuncak, aku biasa-
nya onani, karena aku di Malang tidak punya pacar ataupun kenalan yang
bisa diajak berbagi kehangatan. Padahal aku sudah sangat ingin melaku-
kan hal itu. Sebenarnya aku bisa saja meminta kehangatan pada Ibunya
Ani kalau aku pulang ke Kediri, tapi aku tidak pernah melakukannya
karena aku menaruh hormat pada beliau. Aku terpaksa berbohong bahwa
aku tidak pulang ke Kediri bila beliau menagih janjiku untuk bercinta.
TAMAT
saja masuk kuliah di fakultas teknik salah satu universitas di Malang.
Kulitku agak gelap, meski orang menyebutku manis tapi aku lebih suka
menyebut kulitku hitam. Aku punya teman cewek. Aku berteman dengan dia
dari masih SD. Rumah kami jaraknya cuma sekitar 300 m, hanya saja
rumahnya jauh lebih besar dari rumahku karena dia anak orang terpan-
dang di daerahku. Sebut saja namanya Ana (aku sengaja menyembunyikan
identitasnya karena aku tidak meminta ijin padanya untuk menceritakan
pengalaman seksual kami). Usianya 19 tahun. Kami berteman sangat akrab
sampai-sampai tetanggaku mengira kami pacaran padahal aku tidak pernah
pacaran dengan dia. Aku diam saja dikira pacaran dengannya, habis dia
cantik sih. Mungil, sekitar 155 cm, dan langsing (kutaksir beratnya
tidak sampai 50 kg) dan wajahnya manis banget meski kulitnya tidak
begitu putih. Dengan rambut sebahu yang hitam, dia bisa dimasukkan
kategori cantik.
Setelah lulus SMU dia masuk akademi keperawatan di Nganjuk. Otomatis
sejak lulus SMU aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sampai pada
suatu hari aku punya kesempatan bertemu dengannya.
Aku secara rutin tiap 2 minggu sekali pulang ke kota asalku Kediri.
Dia malah jarang sekali pulang karena di Nganjuk dia tinggal bersama
bapaknya (orangtuanya sudah bercerai). Di Kediri dia tinggal bersama
keluarga ibunya. Seperti biasa setiap aku pulang kampung aku selalu
main ke rumah temanku, dan dari temanku aku diberitahu bahwa Ana juga
berada di rumah. Aku tidak ada rasa apa-apa mendengar kepulangannya,
tapi aku lalu iseng-iseng menelphon ke rumahnya. Dia sendiri yang
mengangkat telephonnya. Setelah ngobrol-ngobrol aku lalu disuruh ke
rumahnya.
Dia menyambut kedatanganku dengan memakai celana pendek dan t-shirt
yang menurutku kekecilan. Dadanya tidak terlalu menonjol karena uku-
rannya memang kecil. Ia tersenyum kepadaku dan akupun membalas senyu-
mannya. Saat itu sekitar jam 9 pagi. Percakapan dilakukan di teras
rumahnya. Ibu dan neneknya di rumah sebelahnya (rumahnya memang 2
buah, satu buat Ana, kakak perempuannya, dan ibunya, satunya lagi buat
kakek, nenek, serta pamannya).
"Gimana kabarnya?" sapanya ramah.
"Biasa. Cuma begini-begini saja," sahutku.
"Kerasan di Malang?"
"Kerasan nggak kerasan ya harus kerasan," jawabku asal.
"Sudah dapat cewek belum?" tanyanya sambil tersenyum.
"He...he...belum. Kamu sendiri gimana? Masih jalan sama Ony?" aku
balik bertanya.
"Masih," jawabnya ringan.
Ony adalah pacarnya sejak kelas 3 SMU. Dia juga temanku sejak SD,
hanya saja dia melanjutkan di STM, sedangkan aku di SMU. Menurut
cerita Ana sendiri kepada teman kostnya waktu SMU, dia dan Ony sudah
sering melakukan hubungan suami isteri. Mungkin karena dari keluarga
broken home, maka dia merasa enteng saja melakukan semua itu. Aku
ngeri sendiri membayangkan mereka, jangankan berhubungan intim, menci-
um cewek saja aku belum pernah, padahal aku sudah pernah dua kali
pacaran. Aku memang terlalu penakut kalo berurusan dengan soal begitu-
an.
"Kenapa nggak cari pacar?" tanyanya antusias, mungkin kasihan karena
aku sudah lama sendiri.
"Anak teknik kebanyakan cowok, kalaupun ada ceweknya, mereka kelihatan
seperti cowok daripada seperti cewek."
"Ooooo......"
"Oo.....juga," kataku. Dia tersenyum.
"Memangnya pacaran itu buat apa sih?" tanyaku berlagak tidak tahu.
"Biar ada yang menemani setiap saat."
"Menemani apa? Memang takut kalo nggak ditemani?"
"Banyak. Dalam segala hal."
"Contohnya?"
"Nonton, dinner, dan....." dia tidak meneruskan perkataannya, tetapi
tersenyum sambil memandangku.
"Dan apa?" tanyaku sambil membalas senyumannya. Pikiranku sudah mulai
ngeres.
"Tidur," jawabnya tenang.
"Tidur? Memang kamu pernah.....sama Ony?" Aku pura-pura tidak tahu.
"Pernah lah. Habis enak sih. Sampai ketagihan," jawabnya enteng.
Wah ini bukan Ana yang kukenal waktu dulu. Dia sudah banyak berubah,
padahal dia dulu dikenal sebagai cewek pendiam.
"Sudah, jangan membahas masalah itu," aku mencoba mengalihkan topik
pembicaraan karena aku merasa nggak enak bila membahas hal itu dengan
teman baikku.
"Kenapa? Takut pingin? Klo kamu sudah pernah pasti kamu nggak tabu
lagi ngomongin hal itu," sambungnya.
"E.....nggak tau lah."
Untungnya dia benar-benar mau mengalihkan topik pembcaraan. Kami
membicarakan temen-teman SMP kami. Mantan-mantan pacarnya, serta
mantan-mantan pacarku. Sampai akhirnya dia mengajakku ke kebun di
belakang rumahnya. Rumahnya memang memiliki kebun buah yang luas dan
rimbun. Kami berjalan melewati dapur dan aku memberi salam pada ibu
dan neneknya. Kakek dan pamannya basanya ke sawah pada jam-jam segini.
Keluarganya memang sudah akrab denganku karena aku dulu sering main ke
sana. Kami berjalan menuju sumber air yang ditampung dalam sebuah
kolam kecil. Kolam itu memiliki dinding penutup setinggi setengah
meter dan memiliki tempat duduk di salah satu sisinya. Dulu waktu SD
kami sering mandi bersama di situ. Di luar bangunan itu ada kolam lain
yang lebih luas dan diisi ikan.
"Tempat ini masih awet ya...," kataku membuka keheningan.
"Dirawat sama kakek. Ingat nggak waktu kita dulu mandi bersama?"
"Ingat. Waktu itu kamu suka berendam berlama-lama di sini. Bahkan aku
sudah kedinginan tapi kamu tetap memaksaku menemanimu berendam."
"Yeee siapa lagi yang maksa. Kamu sendiri yang betah berlama-lama
berendam bersamaku," jawabnya nggak mau kalah. Kami tertawa bersama,
dan tiba-tiba dia menyiramku dengan gayung yang terletak didekatnya.
"Hei. Basah nih," kataku.
"Biarin," katanya sambil tersenyum menggoda.
"Kubalas nih," ancamku.
"Silahkan kalau berani," tantangnya.
Aku lalu mendekat ke arahnya dan mencoba meraih gayung yang dipegang-
nya. Maksudku biar dia tidak menyiramku lagi, tapi dia menghindar
dan..... blung. Dia tercebur kolam.
"Ha...ha....rasain. Kuwalat," godaku.
"Gara-gara kamu nih jadi basah semua," katanya sambil berdiri dari
kolam yang dalamnya cuma satu meter tersebut.
Kupikir dia akan kembal ke rumah dan berganti pakaian, ternyata dia
tanpa canggung melepas t-shirt dan celana pendeknya di depanku! Dadaku
berdegup kencang. Aku tidak bisa berkata apa-apa yang jelas kemaluanku
langsung tegang dan rasanya sakit karena aku memakai celana jeans.
"Ayo kita mandi seperti dulu lagi," ajaknya. "Kamu harus mau, soalnya
kamu telah membuat bajuku basah," sambungnya.
Otakku berpikir keras antara ya atau tidak. Aku tidak bisa berpikir.
Mataku hanya memandang ke tubuhnya yang tinggal memakai BH dan CD.
"Cepetan. Atau kamu mau duduk saja di situ sambil melihat aku mandi?"
Aku melepas t-shirtku dan celana jeansku. Kini aku tinggal memakai CD.
Aku takut kalau ada orang yang melihat, tapi karena Ana cuek aja aku
mencoba menepis perasaan takutku itu.
"Hiii.....apa itu....?"tunjuknya ke arah CD ku sambil tersenyum.
Astaga, seperempat burungku sudah keluar dar CD. Aku malu sekali.
"Dilepas aja sekalian. Nanggung daripada cuma kelihatan sedikit seper-
ti itu," bujuknya.
"Kamu juga harus melepas semuanya dong," balasku.
Tanpa kusangka dia melepas BH dan CD nya. Tubuhku langsung panas
dingin melihat pemandangan seperti itu. Pemandangan yang terakhir kali
kulihat sewaktu aku masih SD. Aku lalu juga melepas CD ku, lalu masuk
ke kolam dan langsung berendam. Soalnya rasanya aneh burungku dilihat
orang lain. Dia cuma tersenyum, dan duduk berendam di sampingku. Aku
tidak bisa berkata apa-apa karena nafsu sudah di ubun-ubun dan rupanya
Ana mengetahui hal itu.
"Maukah kamu....?" tanya Ana terputus.
"Apa?"
"Berhubungan denganku," jawabnya.
Aku cuma diam saja, lalu tersenyum. Rupanya dia mengerti isyaratku
ini.
"Aku belum pernah Na."
"Makanya kamu harus mencoba," sarannya.
Ana lalu memegang burungku yang sedari tadi sudah tegang. Mengocoknya
pelan. Mataku terpejam. Merasakan nikmat selama beberapa menit. Aku
lalu merasakan kocokan itu berhenti. Kubuka mataku dan Ana telah
berdiri di depanku. Kulihat vaginanya hanya ditumbuhi sedikit rambut.
Ana lalu duduk tepat di pangkal pahaku. Kini kelamin kami berhimpitan.
Kepalaku rasanya makin tidak karuan, pingin segera penetrasi. Wajah
kami berdekatan. Berciuman. Aku tidak tahu harus berbuat apa ketika
berciuman karena memang baru pertama kali itu. Ana melepas ciumannya.
"Kamu kok diam aja? Nggak suka ya sama aku?" tanya Ana agak marah.
"Nggak Na. Aku belum pernah berciuman," jawabku.
Ana kembali menciumku. Kali ini bibirku agak kubuka karena terdorong
oleh lidahnya. Tangan kananku meraba dada kirinya sementara tangan
kiriku mengusap-usap punggungnya. Kedua tangan Ana berada di leherku.
Ana berdiri lalu menggandengku menuju ke tempat duduk di tepi kolam.
"Na aku pingin masukin sekarang," pintaku karena aku sudah merasa
sangat terangsang. Padahal aku tidak tahu apakah dia sudah siap atau
belum.
Ana merebahkan diri di tempat duduk lalu membuka pahanya lebar-lebar.
Kulihat vaginanya agak terbuka. Aku langsung memposisikan kepala
burungku tepat di gerbang kewanitaannya.
"Masukkan Ndrik," perintahnya.
Aku hanya melihat lubang kecil sebesar jari telunjukku. Itulah yang
namanya lubang vagina, begitu pikirku. Kumasukkan kepala burungku.
Perlahan. Separuh sudah masuk. Mudah sekali masuknya? pikirku.
Mungkin karena Ana sudah sering melakukannya dengan Ony atau ukuran
burungku yang kecil, cuma 18 cm pembaca, dengan bentuk agak pipih dan
melengkung serte kepalanya sedikit "menoleh" ke kiri.
"Ahhh......." desahnya.
Kutekan lagi hingga kedua bulu kelamin kami bersatu. Tangannya meme-
gang erat pinggangku. Kutarik perlahan, lalu kubenamkan lagi seluruh-
nya. Setiap kali kutarik atau kubenamkan kudengar Ana mendesah. Aku
merasa burungku seperti digenggam dengan erat. Kulihat mata Ana terpe-
jam menikmati sensasi yang kita ciptakan berdua. Aku merasa bahwa aku
ingin segera mengeluarkan spermaku. Kupercepat kocokanku dan kudengar
desahan Ana semakin keras dan cepat. Tapi karena begitu semangatnya
mengocok, burungku sampai terpeleset dan keluar dari liang vaginanya.
Ana membuka matanya lau tersenyum kepadaku.
"Maaf Na, masih pemula," kataku membela diri.
Kumasukkan kembali burungku. Ana memejamkan matanya lagi. Kali ini aku
lebih hati-hati tapi tetap dalam kecepatan tinggi karena aku ingin
segera menyelesaikan hal ini karena takut ketahuan orang. Mata Ana
kini terbuka tetapi tinggal putihnya. Aku takut karena dia seperti
orang kesurupan.
"Oooohhh.......oh.........." cuma itu yang kudengar dari mulutnya.
Ketika aku merasa spermaku mau ke luar, aku menghujamkan burungku
keras-keras dan dalam.
"Ahhhh...lega," kataku. Tapi kulihat Ana masih belum mengalami orgas-
me. sebab dia masih menggerak-gerakkan pinggulnya seolah minta ditusuk
lagi. Burungku terasa ngilu karena jepitan vaginanya, maka kutariklah
ia ke luar. Ana membuka mata sambil nafasnya masih terengah-engah.
Dari sorot matanya kelihatan bahwa ia minta untuk dituntaskan. Aku
memahami hal itu. Kulihat spermaku meleleh keluar dari lubang vagina-
nya. Aku lalu memasukkan jari telunjukku ke vaginanya.
"Ohhh.....," Ana kembali mendesah. "Ya Ndrik.Begitu enak."
Aku menggerakkan jariku seperti lagi menggaruk. Kemudian kuganti jari
telunjukku dengan jari tengahku dan kugerakkan menusuk-nusuk.
"Ahhhh........ah....," pahanya merapat. Rupanya Ana berusaha mengatup-
kan vaginanya karena tidak kuat menahan geli.
"Ndrik...gee....lii..Sssuuu..dah....dongggg. Aku
ngggakkk....tahannn...."
Ternyata ekspresi orang yang lagi menahan nikmat itu lucu ya. Ana
merem melek sambil tubuhnya bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku jadi
tersenyum sendiri, tapi lama-lama aku juga kasihan dan akhirnya kuhen-
tikan tusukanku. Ana membuka matanya sambil mengerutkan keningnya
seolah bertanya kepadaku.
"Please.....jangan dihentikan, aku sudah mau orgasme," kata Ana meme-
las.
Ana lalu memegang burungku yang ternyata masih tegak dan menuntunnya
memasuki lubang vaginanya.
"Eh....pelan-pelan," kataku. Sebab dia menariknya dengan cepat seolah
tidak mau kehilangan rasa nikmat akibat ulah jariku yang belum mampu
membuatnya tuntas.
"Eeeeehhh......" desahnya ketika separuh burungku memasuki vaginanya.
Kini posisinya di atasku. Dia menduduki penisku. Aku hanya diam saja,
sebab nggak tahu harus berbuat apa dalam posisi ini. Ana perlahan-
lahan menurunkan pantatnya sehingga burungku terbenam seluruhnya.
Hebat juga anak ini pikirku, bisa ganti-ganti posisi. Ana menggerakkan
pantatnya naik turun dengan cepat, dan semakin cepat. Burungku rasanya
seperti ditarik-tarik. Setiap kali pantatnya menyentuh pahaku terde-
ngar bunyi plak...plak.... Setelah beberapa menit berlalu kelihatannya
dia sudah mau orgasme. Desahannya semakin keras terdengar. ada rasa
khawatir juga kalo ketahuan ibunya.
"Eh..eh..eh...aaaaaa.....aahhhhhhhh," desahannya berhenti bersamaan
dengan mengalirnya cairan lubrikasi dari vaginanya. Ana telungkup di
dadaku dengan mata masih terpejam. Tinggal aku yang terlanjur 'naik'
butuh penyelesaian. Dengan burungku masih bersarang di dalam vagina-
nya, kubalikkan tubuhnya. Kini dia ganti berada di bawah. Kami dalam
posisi konvensional.
"Eh...mau ngapain lagi nih? Aku sudah lelah Ndrik," katanya.
Aku tidak menghiraukan kata-katanya. Langsung saja kutusukkan burungku
dalam-dalam. Ana mengerang, entah menahan sakit atau menahan nikmat
aku tidak tahu. Kukocok dengan cepat burungku. Kembali kudengar desa-
hannya makin cepat. Dan akhirnya.....
"Ohhh......," desahku bersamaan dengan keluarnya spermaku.
"Ehhh...eh....," hanya itu suara Ana yang terdengar ketika burungku
kucabut dari vaginanya. Burungku terasa licin dan agak lengket. Aku
masuk ke kolam untuk membersihkan burungku. Kulihat Ana duduk di tepi
kolam dengan telanjang, hanya saja pahanya dikatupkan. Di sela sela
pahanya kulihat bulu halus yang basah oleh spermaku bercampur cairan
lubrikasi dari vagina Ana. Ia tersenyum kepadaku. Kubalas senyumannya
sambil memandangi tubuh bugilnya. Tubuh kecil dengan dada yang kecil
pula, tapi kurasa tubuhnya sangat proporsional.
"Thanks Ndrik," ucapnya membuka kebekuan suasana.
"Sama-sama Na. aku juga kamu beri pengalaman yang tidak bakalan aku
lupakan."
Kami lalu berpakaian. Ana tidak memakai CD dan BH nya karena basah. Ia
memasukkan keduanya ke dalam saku celana pendeknya. Kami menuju ke
rumahnya. Badanku rasanya segar sekali. Sepanjang perjalanan Ana
menggenggam tanganku erat-erat. Ia kelihatan bahagia.
"Bajumu kenapa Na?" tanya ibunya yang melihat baju Ana basah.
"Terpeleset di kolam bu," jawabnya sambil berlalu menuju kamarnya
untuk berganti baju. aku mengkuti Ana dari belakang, lalu setelah
sampai di depan pintu kamarnya aku berhenti. Ana masuk dan melucuti
pakaiannya tanpa menutup pintu dulu. Aku berusaha mengalihkan pan-
danganku. Maksudku supaya aku tidak terangsang lagi olehnya, tapi aku
tak kuasa melawan gejolak nafsuku. Aku kembali melihat tubuh bugil
Ana. Ana nak ke atas kasurnya dan merangkak berusaha menjangkau jende-
la. Rupanya dia bermaksud menutup jendela kamarnya yang menghadap ke
tempat cucian. Melihat pemandangan seperti itu burungku berdiri kemba-
li. Kulihat pantatnya yang bulat dan dadanya yang menggantung. Aku
mendekatinya dari belakang dan tangan kananku langsung menuju ke
selangkangannya.
"Hei....kamu nakal ya...." katanya kaget mendapat perlakuan begitu
dariku.
"Habis kamu sexy sih.." jawabku.
Tangannya berpegangan ke tepi jendela yang tidak jadi ditutupnya.
"Na, diam di situ ya. Aku pingin lagi nih," Ana hanya tersenyum. Aku
melepas celana jeans dan CD ku lalu kubiarkan tergeletak di lantai.
"Iiiiihh..kok cepet banget burungmu tegang?" Ana menggodaku.
Aku ingin sekali mencoba doggy style yang sering diceritakan di Ceri-
taSeru. Aku langsung memasukkan burungku ke vagina Ana yang tampak
indah bila dilihat dari belakang.
"Ooohhhh....pelan..pelan....Ndrik. Sakit," pintanya memelas.
Aku nggak tahu kenapa kok dia bisa bilang sakit, padahal sewaktu
permainan di kolam tadi dia tidak mengeluh sakit. Atau memang ada
perbedaan 'rasa' pada gaya konvensional dengan gaya (maaf) anjing?
(Ada pembaca yang bisa memberi alasan?)
"OK Na, aku masukkan pelan-pelan ya..."
"Ya...cepet ... Aku nggak mau ketahuan ibuku."
Blessss....Burungku sudah masuk tiga perempatnya. Nggak bisa masuk
semua karena terhalang pantatnya yang bulat. Langsung saja kukocok.
Seperti waktu di kolam, Ana mulai mendesah, hanya saja kali ini agak
lebih keras. Kulihat matanya terpejam. Mataku yang semula melihat ke
luar jendela akhirnya kututup juga agar bisa menghayati setiap sensasi
yang kurasakan. Sekitar tiga menit berlalu aku membuka mataku untuk
mengalihkan pikiran agar ejakulasiku bisa tertunda. Tetapi pemandangan
yang kulihat seakan menghentikan denyutan jantungku. Aku melihat ibu
Ana berdiri di luar jendela! Beliau diam saja sambil tetap memandang
kami. Pikiranku nggak karuan hingga aku harus menghentikan tusukanku.
Ana membuka matanya dan menoleh ke arahku.
"Kenapa berhenti Ndrik?" tanyanya tanpa tahu ibunya berdiri di hada-
pannya.
Aku tidak menjawab, hanya pandanganku tetap kuarahkan ke ibunya. Ana
kelihatannya penasaran dengan apa yang kulihat. Melihat ke depan
dan...
"Ibu....." kata itu keluar spontan dari mulut mungil Ana.
Burungku masih menancap di vagina Ana dan Ana masih tetap pada posisi
doggy style sambil berpegangan di tepi jendela. Aku tidak tahu harus
berbuat apa, begitu juga Ana. Kami berdua terdiam. Ibu Ana mendatangi
kami dari luar jendela.
"Kenapa berhenti Nak?" kata Ibu Ana. Aku nggak tahu apakah ini sindir-
an atau memang pertanyaan.
"Teruskan saja. Tadi bu ke sini karena mendengar suara Ana yang seper-
ti kasakitan, eh ternyata keenakan.." sambung ibu Ana sambil tersenyum
dan meninggalkan kami.
Sukar dipercaya. Semula aku mengira akan dimarahi atau bahkan diusir.
Ana masih bengong. Ia masih tidak percaya ibunya tidak marah melihat
perbuatannya denganku.
"Gimana Na?" tanyaku.
"Teruskan saja..... Toh Ibu nggak marah."
Pergumulan kami pun berlanjut. Aku hanya sekali saja mengeluarkan
spermaku kali ini. Kami tidak takut-takut lagi. Kubiarkan Ana menge-
luarkan erangannya keras-keras. Ana sangat menikmati permainan ini
karena sudah tidak ada perasaan was-was di hatinya. Pukul setengah
tiga sore aku terbangun dengan hanya mengenakan t-shirt. Ana masih
memelukku dengan erat dalam kondisi telanjang. Kupandangi tubuhnya,
dadanya, dan wajahnya yang manis. Sungguh beruntung pacarnya yang bisa
meminta kehangatannya setiap saat. Kubangunkan Ana karena aku mau
berpamitan pulang, tapi kelihatannya Ana sangat kelelahan. Aku jadi
tak tega membangunkannya. Aku mengenakan selimut untuk menutup tubuh
telanjangnya dan kukecup kening Ana. Kukenakan pakaianku lalu aku
segera menuju teras tempat motorku diparkir. Kulihat Ibu Ana menyapu
halaman. Kuhampiri beliau untuk berpamitan.
"Kok buru-buru pulang Mas Endrik...." Beliau berkata seolah-olah tidak
ada apa-apa di antara aku dan anaknya.
"Sudah sore Bu..."
"Sudah sore atau sudah puas..?" Goda Ibu Ana dengan senyum nakalnya.
"Bener Bu, sudah sore..."
"Kapan-kapan main lagi ke sini ya..."Kata beliau sambl memandangku
lekat-lekat.
"Ya kalau Ana pulang Bu.." Aku tidak berani menatap beliau. Ada sema-
cam perasaan berdosa.
"Kalo Ana nggak pulang kan bisa main sama tante..."
Hah...? Apa aku nggak salah dengar? Ibu Ana memang terlihat masih
cantik di usianya yang mendekati empat puluh. Apa ini sebuah ajakan
dari seorang wanita yang merindukan belaian hangat laki-laki? Atau
hanya sebuah godaan? Aku tidak tahu pasti. Beliau memang sudah bercer-
ai cukup lama dengan ayah Ana, sekitar tiga tahunan lah. Jadi cukup
wajar bila beliau ingin disentuh.
"Ya kalau pulang dari Malang saya sempatkan mampir ke sini Bu," jawab-
ku sambil tersenyum.
"Janji lho ya....."
"Ya Bu.." aku langsung menghidupkan motorku dan beranjak pulang.
Sampai sekarang aku tidak pernah main lagi ke rumah Ana, sebab Ana
tidak pernah pulang lagi. sebenarnya pengalamanku dengan Ana membuatku
sangat ingin mengulangi hubungan intim tersebut. Mungkin benar yang
dikatakan oleh Ana bahwa orang yang pernah berhubungan intim pasti
akan ketagihan (Benar nggak pembaca?), dan sekarang aku benar-benar
ketagihan. Bila nafsu seksualku sudah sedemikian memuncak, aku biasa-
nya onani, karena aku di Malang tidak punya pacar ataupun kenalan yang
bisa diajak berbagi kehangatan. Padahal aku sudah sangat ingin melaku-
kan hal itu. Sebenarnya aku bisa saja meminta kehangatan pada Ibunya
Ani kalau aku pulang ke Kediri, tapi aku tidak pernah melakukannya
karena aku menaruh hormat pada beliau. Aku terpaksa berbohong bahwa
aku tidak pulang ke Kediri bila beliau menagih janjiku untuk bercinta.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar