Alda meregangkan tubuhnya yang sedari tadi meringkuk di kursi belakang mobil yang ia tumpangi. Tadi pagi ia berangkat dari kota kelahirannya, Bogor dan sekarang menuju sebuah kota kecil di Jawa Timur. Sekarang mereka sudah sampai dan mobil itu belok ke sebuah jalan kecil dan terus masuk menuju ke sebuah pinggiran kota. Sebelum mereka sampai ke rumah yang dituju, Alda sempat melihat sebuah sekolah, yang hampir bisa dipastikan akan menjadi sekolahnya juga. Di sebelahnya ibu Tutty tampak tersenyum sambil menunjukan jarinya. "Coba lihat Alda, itu rumahnya."
Alda melihat dan langsung memutuskan kalau itu sama sekali tidak mirip dengan sebuah rumah. Bangunan itu lebih mirip sebuah bangunan bertingkat, lebih mirip dengan sebuah benteng, di jaman penjajahan dulu. Alda sama sekali tidak membayangkan akan tinggal di tempat seperti itu. Alda …….. sebelumnya hidup bersama ibunya. Ketika ibunya, Halimah, meninggal dua minggu yang lalu karena penyakit kanker, yang sama sekali tidak bisa dilawan oleh dokter-dokter yang ada, dinas sosial berusaha keras untuk mencari anggota keluarganya yang masih hidup. Akhirnya, dengan petunjuk nama di akte kelahirannya akhirnya mereka menemukan ayah Alda, yang sama sekali belum pernah dikenal Alda ataupun disebut-sebut oleh ibunya selama masih hidup.
Setelah menghubungi ayah Alda, dinas sosial sama sekali tidak terkejut ketika menemukan bahwa ayah Alda sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya mempunyai seorang anak perempuan. Yang membuat mereka terkejut adalah ayah Alda dengan senang hati mau menerima Alda, tanpa berusaha menolaknya sekalipun. Dan akhirnya Alda meninggalkan kota kelahirannya bersama dengan ibu Tutty dan pak Syahfrie menuju sebuah kota kecil ini. Alda merasa heran melihat sebuah bangunan kuno yang masih berdiri di kota kecil itu. Ia hampir-hampir membayangkan, ada seseorang putri yang tertawan di puncak menara, seperti di cerita-cerita yang pernah ia baca. Udara sekitar situ terasa dingin, membuat Alda merapatkan jaketnya ketika ia mengambil kopernya dari bagasi mobil. Ibu Tutty dan pak Syahfrie bertukar pandang dan tersenyum pada Alda.
"Nah, kamu sudah siap Alda?"
Alda terdiam. Kehilangan ibunya dan tiba-tiba ia harus tinggal dengan ayahnya yang seumur hidupnya belum pernah dikenal dan ditemuinya, Alda jadi berpikir bahwa dinas sosial sama sekali tidak peduli dengan dirinya, selain berusaha untuk segera melepaskan dirinya dari tanggungan departemen sosial. Tapi, Alda berpikir, melihat rumah itu Alda hampir yakin ayahnya seorang yang kaya raya. Mungkin keadaan selanjutnya akan lebih baik. Gadis berumur …… tahun itu sedikit gemetar, ketika perlahan mendekati pintu depan gedung itu. Di belakang ibu Tutty dan pak Syahfrie kembali bertukar pandang dan sekarang dengan rasa gelisah.
"Apa tidak sebaiknya kita beritahu dia, bu?"
"Tentang apa? Tentang gosip itu? Itu cuma gosip. Selain itu, dia akan anaknya, masa kita mau menahan anak dari bapaknya."
"Saya tahu, cuma kalau kita dengar cerita dari orang-orang di kota kemarin…"
"Itulah gosip murahan."
"Yah, saya juga berharap begitu, bu."
Sementara itu, Alda sudah menaiki tangga dan sampai di pintu depan. Tangannya menekan bel. Setengah menit kemudian, pintu terbuka, Alda sempat terkesiap terkejut. Sambil tersenyum malu ia memperkenalkan diri.
"Selamat pagi pak, nama saya Alda Rizma Elfardani"
Farid memandang Alda yang ada di hadapannya.
"Kamu yang katanya anakku, kalau begitu masuklah."
Alda menoleh ke belakang, untuk minta dukungan dari pengantarnya, tapi mereka hanya menganggukan kepalanya, melambaikan tangan dan berbalik menuju mobil mereka. Alda melihat mereka pergi dan merasa kesepian, dan perlahan berjalan mengikuti ayahnya masuk.
Di dalam rumah ayahnya berngajak ia berkeliling, menunjukan dapur kamar mandi, juga bagian sayap rumah dan belakang rumah. Perkataan ayahnya lebih mirip perintah yang tidak mau disela atau dikomentari. Alda merasa tubuhnya merinding mendengar nada suara ayahnya. Setelah selesai berkeliling, ayahnya membawa Alda ke kamar tidurnya. Ruang tidurnya sangat sederhana juga dibandingkan dengan isi rumah yang lain, hanya ada ranjang, lemari dan meja sederhana. Alda meletakan kopernya di atas ranjang dan berbalik menghadap ayahnya. Mereka sejenak memperhatikan satu sama lain. Ayah Alda melihat seorang gadis, berwajah cantik, berkulit putih mulus, dengan dada yang padat bulat, rambutnya hitam ikal sebahu. Ia melihat kaki Alda yang halus dan ramping sesuai dengan bentuk tubuhnya. Sedangkan Alda melihat ayahnya yang tinggi besar, kulitnya gelap dan kasar, berotot dan berwajah keras.
"Ikut aku."
Alda mengikuti, membuntuti ayahnya ke ruangan tengah. Kemudian Alda duduk di kursi yang ditunjuk oleh ayahnya, kemudian ayahnya sendiri duduk di kursi besar yang ada di depannya.
"Nama kamu Alda. Namaku Farid Riza, walau nanti kamu akan tahu bagaimana kamu menyebut saya. Pertama-tama saya jelaskan dulu beberapa hal penting. Aku sama sekali tidak merasakan kehilangan atas kematian ibumu. Ia adalah kesalahan yang aku perbuat 17 tahun yang lalu, dan aku hampir-hampir lupa bagaimana rupanya. Mata Alda berkedip-kedip. Kematian ibunya masih segar dalam ingatannya, dan ia sangat kehilangan ibunya. Alda harus menahan air matanya yang keluar mendengar perkataan ayahnya barusan. Tapi Farid tampak tidak peduli, dan melanjutkan.
"Peraturan yang terpenting di rumah ini adalah, aku tidak mau kamu ribut-ribut mengganggu kalau aku sedang sibuk. Kamu tidak boleh berbicara kecuali kamu diperintah untuk bicara atau punya pertanyaan yang khusus. Kamu harus membersihkan ruangan kamu sendiri dan mendapat nilai bagus di sekolah. Itu yang paling penting."
Alda merasa mual. Tapi Farid belum selesai.
"Kamu mungkin mendengar gosip yang ada di kota tentang aku. Mereka bilang saya seorang yang menderita kelainan seksual." Farid menatap Alda yang duduk tegang tak bergerak. "Secara umum gosip itu benar, dan saya adalah penganut sado-masochis, saya suka melihat wanita-wanita menjerit-jerit kesakitan dan memohon ampun pada saya. Dan beberapa waktu terakhir ini kegiatan saya itu berkurang. Tapi untung buat saya, tapi bagi kamu mungkin bencana, kamu datang dan sekarang saya punya mainan baru." Alda menyadari bahwa "mainan" itu adalah dirinya. Ia berdiri dan membuka mulut untuk memprotes perkataan Farid. "Duduk! Saya sudah bilang, kamu hanya boleh berbicara kalau saya suruh! Asal kamu tahu, kamu tidak bisa keluar dari rumah ini, seluruh pintu dikunci otomatis dengan satu putaran kunci. Dan walaupun kamu bisa keluar, tidak ada seorangpun yang akan menolong kamu. Saya yang menguasai kota ini, biarpun mereka merasa sangat kasihan kepada kamu, dan sangat ingin menolong kamu, penduduk kota ini akan mengirim kamu kembali ke rumah ini jika kamu minta tolong pada mereka. Jadi kamu lebih baik menurut dan menutup mulut kamu, kalau kamu masih mau menikmati hidup di luar gedung ini." Tubuh Alda sekarang gemetar ketakutan.
"Mulai sekarang kamu harus panggil saya "Papa" atau "Tuan". Kamu cuma akan memakai pakaian yang sudah saya pilihkan buat kamu. Dan kamu haru menuruti semua perintah saya. Jika kamu tidak menurutinya kamu akan dihukum. Mengerti?" Alda berusaha keras agar bisa berbicara tegar.
"Tidak, Alda tidak mengerti maks…"
Cuma itu yang sempat diucapkan Alda, karena Farid sudah mendekat dan memuntir kedua tangan Alda ke belakang dan mendorongnya. Alda meronta-ronta minta tolong ketika ia dan Farid menuruni sebuah tangga masuk ke sebuah ruangan di bawah tanah.
Ketika ia berhenti meronta-ronta, Alda menemukan dirinya ada ditengah sebuah ruangan, dengan tangan terikat keatas dengan rantai. Farid merobek-robek baju Alda, kemudian BH-nya. Rok Alda diturunkannya ke lantai kemudian celana dalam Alda, tanpa peduli teriakan minta tolong Alda. Sekarang Farid menatap tubuh gadis muda itu telanjang bulat, dengan tangan terikat di atas kepalanya, otot kakinya tampak menegang, dan menendang-nendang, buah dadanya bergoyang-goyang ketika ia meronta-ronta. Farid menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sangat beruntung mempunyai anak secantik Alda.
Alda menangis minta agar ia dibebaskan dan dipulangkan ke rumahnya, ia meronta dan menarik-narik rantai yang mengikat tangannya.
"Ini adalah awal hukuman kamu Alda. Mulai sekarang kamu sebaiknya berpikir dua kali kalau kamu mau melawan kehendak saya."
Farid kemudian mengambil sebuah pecut, yang mempunyai ujung banyak, dengan pegangan yang panjang. Kemudian ia mulai mengelus paha Alda dengan gagang pecut tadi, memaksa Alda membuka kakinya makin lebar sampai akhirnya Alda hampir-hampir tidak bisa berdiri karena kakinya terbuka begitu lebar.
"Papa sedang apa? Alda mohon lepaskan Alda, Alda akan nurut semua perintah Papa."
Farid hanya tersenyum. Sebentar lagi anaknya pasti akan menuruti perintahnya, tapi ia ingin memberikan pelajaran terlebih dahulu pada Alda. Farid kemudian mengelus-elus makin lama makin mendekati pinggang Alda, yang membuat Alda menggelinjang kegelian. Kegelian Alda mendapat perhatian khusus dari Farid, untuk pelajaran berikutnya.
"Alda, apa kamu masih perawan?"
"Apa? Apa maksud Pap…"
Farid menjambak rambut Alda keras-keras. Alda menjerit.
"Apa kamu masih perawan, Alda?"
"Masih!" Farid melepaskan jambakannya.
"Itu sebentar lagi bakal hilang."
Farid kemudian merantai kedua kaki Alda ke gelang besi yang ada di lantai, sehingga sekarang kedua kaki Alda benar-benar terbuka lebar tanpa bisa dirapatkan oleh Alda. Tak lama kemudian Alda merasakan Farid mulai menciumi pinggangnya kemudian turun ke pahanya, lidah Farid juga menjilati betis, kemudian naik ke paha Alda dengan pelan dan mesra. Alda mendesah dan meronta tapi tak berdaya karena ikatan rantai itu begitu kuat. Farid melanjutkan jilatannya ke pinggang Alda kemudian turun menuju selangkangan Alda, sampai terdengar nafas Alda tersentak. Kemudian Farid menyelipkan lidahnya kebelahan bibir vagina Alda, sementara ibu jari Farid meraba-raba clitoris Alda. Farid menjilati lubang vagina Alda dengan lembut dan mesra seperti sebelumnya.
Alda merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, mengerang dan menggelinjang. Lidah ayahnya terasa menjilati bagian tubuhnya yang ia sendiri jarang menyentuhnya. Otot-otot kakinya menegang, berusaha merapatkan kakinya yang terantai erat-erat di lantai, membuat dirinya tak berdaya pasrah dijilati oleh ayahnya sendiri. "Papa, Papa, Papa sedang apa? Hhhhhh, jangan pukul Alda Pa, Alda janji akan nurut. Hhhhhekkkkhhhh, jangan Pa, jangan…" Farid berhenti dan berdiri untuk kemudian mengambil sebuah bola karet.
"Alda, kamu mulai berisik ya?"
Ia membuka mulut Alda dan memasukan bola karet itu kedalam mulut Alda yang terbuka lebar agar bola itu bisa masuk seluruhnya. Kemudian Farid mengikat bola karet itu dengan tali yang menempel di bola tadi sehingga tidak bisa dimuntahkan oleh Alda. Dengan bola dimulutnya Alda hanya bisa mengerang, tanpa bisa mengeluarkan kata-kata, dan rahang Alda terasa nyeri karena membuka begitu lebar. Farid kemudian berlutut lagi dan melanjutkan kegiatannya di vagina Alda yang sekarang sudah lebih basah dari pada waktu ia mulai tadi.
Ketika erangan Alda makin lama makin keras dan cepat, Alda sudah berhenti meronta-ronta. Sekarang mata Alda terpejam, dan pinggulnya bergerak maju mundur karena rasa nikmat yang perlahan timbul dari vagina benar-benar tak tertahankan. Perlahan tubuh Alda seluruhnya dikuasai oleh rasa nikmat yang makin lama makin memuncak. Pada saat memuncak itulah Farid menghentikan kegiatannya, yang menyebabkan Alda merintih. "Kamu suka itu Alda?" Farid tersenyum melihat wajah Alda yang memerah yang hampir saja mencapai orgasme, menganggukkan kepalanya. Sekarang Farid berpindah ke bagian belakang tubuh Alda, dengan ujung-ujung pecutnya ia mengelus punggung, kemudian turun ke pinggul dan pantat Alda, melihat tubuh Alda menggelinjang kegelian dan meronta panik. Farid berhenti sejenak memperhatikan tubuh Alda yang masih meronta-ronta, melihat kulitnya yang putih, mulus, dan hangat tubuh muda Alda begitu lembut ketika dirabanya.
CTAAR
Alda menjerit, tubuhnya meronta dan mengejang. Beberapa garis merah timbul di kulit pantatnya yang putih bersih.
CTAAR
CTAAR
CTAAR
Tiga pecutan berturut-turut mendarat di punggung Alda, membuat nafas Alda tersentak dan seakan-akan putus. Tapi Farid tidak peduli. Jika Alda pingsan, ia akan terus memecutnya hingga ia sadar kembali. Air mata Alda sekarang meleleh di pipinya. Farid sekarang benar-benar ingin membuat Alda merasakan rasa sakit yang sebenarnya. Farid terus memecut dengan sekuat tenaganya, tanpa belas kasihan.
CTAAR
Buah dada Alda.
CTAAR
Bagian dalam paha Alda yang sangat halus dan putih bersih.
CTAAR
Pinggul Alda. Farid senang melihat kaki Alda menegang dan menekuk kesakitan membuat sesaat Alda hanya bergantung pada ikatan di tangannya. Kembali ia memecut pinggul Alda.
CTAAR
Alda menjerit keras sekarang, pergelangan tangannya nyeri demikian juga seluruh tubuhnya. Buah dadanya serasa terbakar, dan punggungnya sakit.
CTAAR
CTAAR
CTAAR
Pantat Alda sekarang mengeluarkan darah.
Farid kemudian mengusapkan tangannya ke pipi Alda, kemudian dengan tangan yang basah oleh air mata Alda yang terasa asin, Farid mengusap pantat Alda. Jeritan Alda semakin keras, merasakan lukanya diusap oleh air matanya sendiri. Farid kemudian memutuskan untuk memberi Alda kesempatan untuk beristirahat. Kembali ia berlutut di depan selangkangan Alda, pecutnya ia letakan di lantai. Alda yang gemetar dan menangis kembali merasakan kehangatan lidah ayahnya di lubang vaginanya. Kembali rasa nikmat menjalar naik dari vagina ke seluruh tubuh Alda yang kesakitan, membuat Alda lemah lunglai ketika lidah Farid menjilati clitorisnya dan kadang menusuk-nusuk liang vaginanya. Alda berusaha merapatkan kakinya, tapi usaha itu membuat pergelangan kakinya semakin sakit oleh rantai yang mengikatnya.
Farid terus menjilati clitoris Alda sampai membesar dan merah. Kemudian ia berdiri dan memandang tubuh anaknya yang memar dan merah bersimbah keringat, untuk beberapa saat. Farid betul-betul kagum melihat betapa garis-garis merah dan ungu kontras dengan warna putih tubuh Alda.
"Alda, tubuh kamu betul-betul indah."
Farid, berpikir untuk melepaskan Alda atau melanjutkan pelajaran buat Alda hingga selesai. Karena Farid menganggap dirinya seorang perfeksionis, ia memutuskan untuk mengambil kembali pecutnya.
CTAAR
Farid benar-benar puas melihat ayunan pecutnya mengenai sasaran, tepat diantara kedua kaki Alda, membuat tubuh Alda kembali meronta-ronta kesakitan.
CTAAR
Kembali Farid mengagumi dirinya sendiri. Ia ingin mengukur sampai mana ia bisa membuat Alda kesakitan. Dan ia juga ingin mendengar sampai sekeras apa Alda bisa menjerit.
CTAAR
Ujung pecut itu sekarang tepat mengenai clitoris Alda. Jeritan Alda, membahana, dan Alda langsung tergantung pada rantai di tangannya, jatuh lemas, tidak mampu berdiri diatas kedua kakinya lagi. Farid langsung membebaskan tubuh Alda yang lemah lunglai itu dari semua ikatan rantai, dan membaringkannya di atas matras di lantai. "Sakit ya?"
Alda mengangguk lemah, menangis menahan sakit.
"Memang sakit, tapi kamu akan belajar untuk menyukainya." Mata Alda sekarang terbelalak. Farid mulai melepaskan seluruh pakaiannya dan dalam waktu singkat sudah berdiri telanjang dengan penis yang besar sudah keras dan mengacung ke atas. Alda berusaha bangun menjauh, tapi siksaan yang baru saja diterimanya membuat ia tergeletak jatuh lagi tanpa bisa bergerak lebih jauh. Farid kemudian menindih tubuh Alda, melihat wajah Alda yang pucat ketakutan. Farid sangat senang melihat anaknya ketakutan, dan merakan tubuh muda Alda menempel ke tubuhnya, dan tanpa aba-aba ia mendorong penisnya masuk ke vagina Alda. Penis itu masuk tanpa halangan, hanya sekali terhalang oleh selaput dara Alda, yang langsung dapat dirobek dengan mudah oleh penis Farid.
Ketika seluruh penis Farid masuk ke vagina Alda, ia berhenti sejenak merasakan otot-otot vagina Alda berusaha mengeluarkan penis itu, yang membuat penis Farid terasa seprti dipijat-pijat. Farid menggerak-gerakan pinggulnya ke kiri dan ke kanan, membuat mata Alda membalik dan erangan keluar dari mulut Alda. "Bagaimana rasanya ditiduri sama ayah kamu sendiri Alda? Kok diem?" Farid kemudian mulai bergerak keluar masuk, makin lama makin keras menghentak-hentak tubuh Alda yang sudah memar dan kesakitan. Walaupun terengah-engah diantara setiap hentakan, Farid masih bisa berkata. "Kamu pasti menyesal sekarang kan Alda? Nah, kalau kamu tidak bisa menuruti perintahku penisku ini bisa masuk ke mulut kamu. Kamu sekarang adalah mainan saya Alda. Dan kamu lebih baik jika menyukai penis saya ini, soalnya kamu bakal sering ketemu dia. Alda menatap wajah ayahnya dengan pasrah, tubuhnya sudah kesakitan karena pecutan tadi dan sekarang ia kembali merasakan kesakitan karena penis ayahnya. Dengan disetubuhi oleh ayahnya secara terus-menerus tanpa henti Alda mulai merasakan sesuatu kembali menguasai tubuhnya.
Farid merasakan pinggul Alda bergerak mengikuti gerakan pinggulnya. Farid melihat mata Alda setengah tertutup dan dari mulutnya terdengar erangan. "Oh, rupanya kamu suka Alda, bagus, bagus Alda sayang. Aku akan kasih kamu sesuatu yang nggak bakal kamu lupain seterusnya."
Alda mulai merasakan kenikmatan kembali ketika penis Farid bergerak keluar dan masuk vaginanya. Ia berusaha menggerakan tubuhnya sambil mengerang nikmat tapi berat tubuh ayahnya membuat Alda tidak bisa bergerak banyak. Setiap kali penis Farid masuk, saat itu juga clitorisnya bergesekan dengan batang penis Farid, terus menerus sampai Alda hampir gila merasakan kenikmatan yang makin memuncak. Alda berusaha menahan rasa itu menguasai seluruh tubuhnya, tapi gerakan Farid yang tanpa henti dan semakin cepat iramanya membuat Alda tidak bisa lagi menahan gejolak itu. Dengan erangan yang keras dan tubuh yang mengejang gemetar, Alda merasakan orgasmenya yang pertama.
Farid meraih kepala Alda, dan melepaskan bola karet tadi dari mulut Alda, untuk kemudian langsung digantikan oleh mulutnya. Lidah Farid masuk ke mulut Alda, sambil mengerang keras di mulut Alda. Dengan erangan itu gerakan Farid makin cepat dan keras. Akhirnya dengan satu dorongan keras, penis Farid masuk ke dalam vagina Alda dan berhenti bergerak, sementara tubuh Farid bergetar, sementara Alda merasakan penis ayahnya juga bergoyang dan bergetar di dalam vaginanya, seiringan dengan itu sperma Farid menyemprot masuk ke dalam vagina Alda.Tubuh Farid beristirahat di atas tubuh Alda, membuat Alda sesak nafas, sementara kepala Farid bersandar di bahu Alda, sementara Farid berusaha memulihkan tenaganya dari orgasme yang baru saja ia alami. Farid kemudian menciumi leher Alda sambil berbisik. "Itu pelajaran yang pertama Sayang!"
Setelah beberapa saat beristirahat dikehangatan tubuh Alda, Farid bangkit berdiri. Alda tidak menyadari bahwa pelajaran untuk dirinya masih jauh dari berakhir. Farid bangkit dan berjalan kemudian duduk di atas kursi kayu. Kursi itu nantinya akan digunakan oleh Alda, tapi untuk saat ini Farid menggunakanya untuk duduk.
"Alda, sekarang waktunya kamu bersihkan penis saya." Alda, yang menyangka hukuman pada dirinya sudah berakhir dengan mengerang berusaha bangkit berdiri.
"Bukan begitu Alda. Merangkak kemari!"
Farid puas melihat dua garis pecutannya masih mengeluarkan darah, sementara Alda mulai merangkak mendekati Farid. Ketika Alda sampai di hadapan Farid dengan merangkak dan kesakitan, Alda mengangkat kepalanya melihat Farid. "Aku harap kamu puas dengan orgasme yang kamu rasakan tadi. Itu orgasme paling akhir yang akan kamu rasakan buat beberapa waktu. Sekarang berlutut. Kamu musti bersihkan penis ini pakai mulut kamu. Alda berlutut dan memandangi penis ayahnya yang berlumuran sperma dan cairan dari vaginanya. Alda membuka mulut untuk memohon belas kasihan ayahnya, tapi sebelum Alda bisa berkata, Farid sudah menjambak rambut Alda dan mendorong kepala Alda mendekati penisnya. Alda tersentak dan putus asa mengeluarkan lidahnya dan mulai menjilati penis ayahnya yang sudah mengecil dan lemas. "Kamu nggak akan kemana-mana sebelum ini bersih. Jadi lebih baik cepat sedikit."
Alda merasakan cairan vaginanya kemudian sperma ayahnya yang asin. Ia merasa akan muntah, tapi semua itu ditahannya demi menyadari tangan ayahnya masih ada dikepalanya, Alda kemudian terus melanjutkan menjilati penis Farid. Lidah Alda menjilati penis Farid mulai dari kepala sampai pangkalnya hingga bersih. Kemudian Alda menjilati testis Farid, menjilat semua sperma yang masih menempel disitu. Ketika dirasanya penis itu bersih Alda berhenti dan memandang ayahnya. "Kurang bersih. Ulangi dan nanti pakai rambut kamu buat handuknya." Alda tidak dapat lagi menahan tangisnya. Air matanya meleleh jatuh ke buah dadanya ketika ia kembali mendekatkan mulutnya ke selangkangan Farid. Kembali Alda menjilati seluruh penis Farid, mulai dari kepala terus ke testisnya, kemudian kembali ke kepala penisnya. Atas perintah ayahnya Alda juga menjilati sisa-sisa sperma yang masih keluar dari penis Farid. Sementara Alda menjilati penisnya Farid bersandar di punggung kursi dan melihat anaknya bekerja di antara kedua kakinya, ia sangat menikmati lidah Alda yang hangat dan lembut mengusap-usap batang penisnya. Ia merasa penisnya kembali mengeras. Ia tersenyum melihat anaknya yang sedang menangis, dan melihat hari belum lagi malam.
Alda sangat ketakutan merasakan penis ayahnya mengeras ketika ia menjilati batang penis itu. Setelah selesai untuk kedua kalinya, takut akan ancaman dari ayahnya Alda meraih rambutnya dan menggunakannya untuk mengeringkan penis Farid. Sensasi yang ditimbulkan oleh rambut Alda di penis Farid tampaknya semakin membuat penis Farid makin mengeras dan tegang. Alda hanya melihat sambil ketakutan, ia diam agar tidak membuat ayahnya marah dan menghukumnya lagi.
Farid kembali mengamati wajah Alda yang memancarka perasaan ketakutan. Alda mempunyai mulut yang indah, berbentuk bagus dan serasi dengan wajahnya. Farid ingin membuat Alda merasakan penisnya.
"Alda, sekarang kamu musti mengulum penis ini!"
Alda merintih minta ampun.
"Ampun Pa, Alda capek, Alda ingin istirahat Pa, Alda mohon…"
Farid hanya tersenyum pada Alda.
"Nanti kamu bisa tidur. Sekarang kamu musti tutup mulut kamu. Karena kamu kelihatannya tidak bisa menutup mulut kamu, mungkin kamu bisa pakai alat bantu sedikit."
Alda gemetar ketakutan mendengar perkataan "alat bantu" tadi. Farid meraih sebuah kotak didekatnya dan mengambil sepasang jepit buaya yang tersambung dengan rantai perak. Farid juga mengambil sebuah borgol yang ia tunjukan terlebih dahulu pada Alda sebelum diborgolnya tangan Alda kebelakang, membuat Alda sekarang berlutut tak berdaya. Farid kemudian memilin-milin puting susu Alda sambil ditarik-tarinya sedikit. Ketika puting susu Alda menegang, Farid menjepitkan masing-masing jepitan buaya tadi di puting susu Alda. Mata Alda melotot, nafasnya tersentak dan ia menjerit kesakitan. Tubuhnya meronta-ronta berusaha melepaskan jepitan itu dengan mengoyangkan buah dadanya, tapi itu hanya membuatnya semakin kesakitan. Farid tersenyum dan ia kemudian menarik rantai perak tadi, yang membuat Alda kembali menjerit kesakitan.
"Betul-betul kecang jepitannya kan? Jangan kuatir, nggak bakal lepas Sayang." Penis Farid sekarang sudah tegang seluruhnya. Ia bergerak mendekatkan penisnya ke kepala Alda.
"Kamu akan mengulum ini Alda. Sampai masuk ke tenggorokan kamu. Mungkin kamu nggak suka, tapi kamu kan mainan saya. Sekarang jilati seperti kamu kalau menjilat eskrim. Dan lakukan yang bener atau kamu akan dapat hukuman lagi besok." Alda terpana melihat penis ayahnya panjangnya sekitar 20 senti. "Kenapa, takut tidak bisa masuk semua ke mulut kamu? Mungkin kita batalin aja, dan kita kembali pakai pecut yang tadi. Bagaimana?" Alda yang tidak dapat berbuat banyak dengan tangan diborgol ke belakang, perlahan mulai menggerakan kepalanya, menjilati penis ayahnya dari ujung hingga pangkal seperti perintah.
"Terus Alda. Dan lebih cepat!"
Farid menjambak rambut Alda membuat Alda kembali menangis.
"Lebih cepat Alda! Lebih cepat!" Alda terus menjilati penis Farid kurang lebih selama satu setengah jam, berusaha menjilati seluruh penis Farid dengan cepat. Setiap kali gerakan Alda melambat, Farid menarik rantai perak tadi dan Alda kembali menjilat lebih cepat. Puting susu Alda berubah menjadi ungu setiap kali rantai itu ditarik oleh Farid dan sakitnya tak tertahankan. "Sekarang masukan ke mulut kamu. Seluruhnya. Lebih baek saya bisa merasa otot tengorokan kamu dari penis saya, kalau tidak…"
Alda hanya bisa memasukan kepala penis Farid, ketika mulutnya mulai terbuka. Penis Farid sangat besar dan ia kesulitan untuk memasukan seluruhnya ke dalam mulutnya. Ayahnya mendorong penisnya agar masuk ke dalam mulut Alda, membuat Alda megap-megap dan batuk.
"Kamu lebih baik membiasakan diri dengan ini!"
Farid terus mendorong kepala Alda maju dan ia merasakan kepala penisnya mulai masuk ke tenggorokan Alda. Sekarang aliran nafas Alda sudah terhalang seluruhnya oleh penis Farid. Alda, yang tidak bisa lagi bernafas mulai panik, tubuhnya meronta-ronta berusaha melepaskan dirinya dari pegangan ayahnya. Farid yang mempunyai tenaga jauh lebih besar memperhatikan wajah Alda yang perlahan berubah menjadi merah. Ia terus mendorong maju kepala Alda, membuat penisnya masuk lebih jauh, dan getaran-getaran di tenggorokan Alda sangat merangsang penisnya. Ketika pandangan Alda mulai berkunang-kunang dan perlahan menjadi gelap, ayahnya menarik kepalanya sehingga penis yang ada di tenggorokannya tertarik keluar. Alda megap-megap menghirup udara, tubuhnya gemetar dan meronta-ronta mencari udara segar. Farid, yang masih memegang kepala Alda, menghitung pelan-pelan satu sampai lima. Ketika selesai dan ketika Alda masih megap-megap kekurangan udara kembali ia mendorong masuk penisnya masuk ke tenggorokan Alda. Alda langsung panik kembali dan kembali meronta-ronta. Farid memejamkan matanya dan tersenyum. Ia sangat menyukai getaran yang ditimbulkan oleh teriakan Alda yang diredam oleh penisnya, kemudian ia mendorong penisnya masuk lebih dalam., bibir Alda sekarang menempel di testisnya. Sekarang seluruh penisnya telah masuk dan Farid dapat melihat kepala penisnya tampak menonjol di leher Alda.
"Alda sayang, kamu nggak mengulum."
Ketika Alda hampir pingsan lagi karena kekurangan udara, Farid kembali menarik penisnya keluar, memperhatikan Alda megap-megap lagi menghirup udara. "Begitu kita selesai Alda, kamu akan terbiasa dengan ini, dan teman-temanku pasti akan menyukai kamu." Mata Alda memancarkan rasa benci pada Farid, tapi itu tidak berlangsung lama karena dua detik kemudian ia kembali merasakan penis ayahnya masuk kedalam tenggorokannya lagi. Ketika Alda meronta-ronta mencari udara Farid berkata. "Bagaimana pendapat kamu kalau dinas sosial melihat ini Alda? Apa mereka akan setuju kalau kamu hidup denganku? Kamu mempunyai ayah yang penuh kasih sayang bukan? Aku betul-betul tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada diri kamu Alda. Kamu betul-betul berbakat. Alda, kamu nggak akan pergi ke universitas, kamu akan tinggal di sini dlam waktu yang lama."
Farid kembali menarik penisnya, menghitung sampai lima dan memasukannya lagi.
Dua jam kemudian, Alda berbaring meringkuk dilantai menangis sementara Farid membersihkan penisnya dengan tisu. Farid membayangkan tenggorokan Alda pasti sudah luka dan memerah, setelah dipaksa menerima penisnya yang besar selama dua jam dan kemudian disemprot oleh sperma yang keluar kemudian. Farid menarik nafas puas. Itu merupakan orgasme paling hebat yang pernah ia rasakan.
Ia memperhatikan anaknya yang ada di lantai. Jelas sekali Alda tidak akan bisa berjalan. Biasanya ia akan memaksanya untuk merangkak, tapi sekarang ia sudah lelah dan ingin cepat tidur. Alda benar-benar membuatnya letih. Lalu Farid membuka borgol di tangan Alda, kemudian melepaskan jepitan buaya dari puting susunya, dan menggendongnya ke kamar tidur Alda. Tangan Alda melingkar di leher Farid ketika Farid berdiri.
Alda mencoba berkata lirih ketika Farid merantai tangannya ke rangka ranjang. "Untuk keamanan Sayang. Aku nggak mau mainan baruku hilang di tengah malem nanti."
Farid kemudian mematikan lampu dan menutup pintu. Secara umum malam itu adalah malam yang sukses.
"Selamat pagi, Alda." Farid menyapa Alda sambil tersenyum.
Alda hanya menatap ayahnya.
"Ini hari pertama kamu di sekolah yang baru. Jangan sedih begitu. Nih, ada pakaian baru buat kamu."
Farid melepaskan rantai dari tangan Alda, dan memperhatikan Alda menggeliat dan membasuh dirinya dengan air yang dibawanya.
Setelah beberapa menit membersihakan diri dan mengeringkan tubuhnya, Alda akhirnya melihat pakaian yang disediakan untuknya di atas meja. "Alda tidak bisa pakai itu Pa, terlalu kecil."
"Itu sudah pas. Cocok untuk kamu, atau kamu lebih suka dihukum lagi?"
Alda langsung pucat.
"Jangan Pa, Alda pakai sekarang, Alda pakai."
"Anak baik."
Farid memperhatikan Alda berusaha memakai t-shirt putih ketat, yang ukurannya kekecilan 2 nomor dari yang seharusnya dipakai Alda. Buah dada Alda tampak menonjol dan puting susunya tampak jelas mengacung dibalik t-shirt itu. Panjang t-shirt itu hanya sampai di atas perut Alda, membuat perut Alda yang rata tanpak jelas.
"Celana dalamnya Pa?"
Farid menggelengkan kepala. Alda hanya menarik nafas, lalu berusaha mengenakan rok ketat. Rok itu sangat pendek dan sempit, sehingga hanya bisa menutupi bulatan pantatnya. "Guru-guru kamu bakalan suka Alda. Sekarang duduk, biar aku melengkapi penampilan kamu."
Alda duduk di pinggir ranjang sambil sesekali menarik turun rok agar tidak terlalu tertarik ke atas.
Farid meraih kedua kali Alda dan membukanya, membuat nafas Alda kembali tersentak. Tetapi teringat akan hukuman yang ia dapat kemarin malam, ia sama sekali tidak melawan perbuatan ayahnya. Sekarang ia terbaring di ranjang dengan kaki terbuka, dan rok mininya dengan sendirinya terangkat sampai ke pinggangnya. Farid membuka sebuah laci dan mengambil sebuah dildo – sebuah benda berbentuk penis yang terbuat dari karet keras – berwarna hitam. "Tetap buka kaki kamu Alda." Farid mulai mendorong dildo itu agar masuk ke vagina Alda. Alda mengerang beberapa kali, tapi setelah lima menit, dildo sepanjang 15 senti itu masuk seluruhnya ke dalam vagina Alda. Farid melihat Alda akan sulit berjalan dengan dildo di dalam vaginanya. Ia tersenyum dan mulai menggosok-gosok clitoris Alda sambil memberikan perintah sebelum Alda berangkat sekolah.
"Alda, hari ini kamu bakalan basah seharian, dengan begitu dildo yang ada di dalam vagina kamu juga akan basah. Dan kamu akan berjalan, menggelinjang, dan sebagainya. Dildo itu sangat halus dan licin, dan tentu saja akan keluar dengan sendirinya dari vagina kamu. Tentunya akan sangat memalukan bukan kalau ada orang melihat?"
Alda hanya merintih, ketika gosokan jari ayahnya di clitorisnya mulai menimbulkan rangsangan. "Jadi, tugas kamu adalah menjaga dildo itu agar tetap ada di dalam vagina kamu. Guru-guru kamu di sekolah sudah diperintahkan agar tidak memberikan ijin jika kamu akan ke wc, jadi kamu tidak akan bisa melepaskannya di wc. Kamu harus menggunakan otot-otot vagina kamu untuk menjaga dildo itu agar tidak keluar." Alda disela-sela kenikmatan yang dirasakannya, tersentak mendengar bahwa ayahnya juga menguasai sekolah. "Betul Alda, guru-guru kamu akan menuruti semua perintahku. Semua orang di kota ini akan menuruti semua perintahku. Jadi kamu sebaiknya berkelakuan baik di luar sana, mengerti?"
Alda mengangguk cepat. Sekarang tubuhnya menggelinjang, ia mengerang, pinggulnya bergerak naik turun ketika jari-jari ayahnya kembali membawa dirinya mendekati puncak kenikmatan.
"Bagus." Farid menarik tangannya dari clitoris Alda, membuat Alda merintih. "Apa kamu lupa Alda? Kamu adalah mainanku sekarang. Dan sya yang menentukan kapan kamu bisa orgasme, yang jelas bukan dalam waktu dekat."
"Sekarang kamu lebih baik lekas berangkat, kamu akan jalan kaki ke sekolah jadi lebih cepat lebih baik."
Alda memandang Farid dengan mata bercucuran air mata.
"Ingat, kamu tidak akan diijinkan untuk ke wc. Jadi hari ini bisa jadi akan panjang sekali."
Alda merasakan putus asa ketika pintu di belakangnya menutup. Ia sangat ingin pergi dan tidak kembali lagi ke rumah itu. Tapi ia menyadari itu adalah keinginan yang mustahil. Biarpun ia melarikan diri, ayahnya tetap akan bisa menemukan dirinya dan membawanya kembali. Air mata terus mengalir ketika Alda menyadari dirinya seperti seekor binatang dalam sebuak kandang. Ia benar-benar merupakan alat permainan bagi ayahnya. Sementara itu dildo di dalam vaginanya tiba-tiba mulai keluar. Vagina Alda masih basah akibat gosokan jari Farid di clitorisnya tadi, dan gerakan kaki Alda ketika ia berjalan juga membuat dildo itu meluncur keluar dari vaginanya. Alda mengatupkan giginya berusaha menggunakan otot vaginanya untuk mendorong dildo itu masuk kembali ke dalam vaginanya, biarpun itu membuatnya tidak bisa berjalan dengan baik. Ia berharap ia membawa sebuah tas sehingga ia bisa menarik keluar sekarang ketika tidak ada orang yang melihat. Tapi Alda membayangkan betapa murka ayahnya jika ia mengetahui Alda mengeluarkan dildo itu.
Alda terus melanjutkan perjalanannya ke sekolah sekitar 15 menit, berhenti setiap beberapa meter, menggeliat memaksa agar dildo itu masuk kembali ke dalam vaginanya, dan jug aia harus menarik turun rok mininya. Ketika Alda berjalan, rok mininya akan naik dengan sendirinya, membuat bulatan pantatnya terlihat. Ketika sampai di gerbang sekolah, Alda langsung menjadi pusat perhatian. Setiap mata memandang dirinya yang tampak kontras dengan seragam putih abu-abu yang dipakai oleh semua siswa di situ. Rambunya yang sebahu, dan bentuk tubuhnya tampak jelas dengan pakaiannya yang ketat, kakinya yang panjang dengan sepatu hak tinggi membuat siswa laki-laki ternganga dan siswa perempuan memicingkan matanya. Wajah Alda memerah dan berharap ia ada di tempat lain pada saat itu juga.
"Kamu pasti yang bernama Alda Rizma."
Alda tidak menyadari seseorang mendekatinya sampai ia berbicara. Tangan orang itu merangkul bahunya dan menggiringnya masuk ke dalam sekolah.
"Alda, pakaian kamu sangat tidak sopan dan melanggar aturan sekolah ini. Saya kepala sekaligus pemilik sekolah ini. Kamu bisa panggil saya pak Toni. Ayo ikut saya ke kantor." Alda kesulitan mengikuti langkah Toni yang panjang, karena dildonya kerap kali berusaha keluar dari vaginanya. Alda sangat malu berjalan setengah diseret sepanjang gang sekolah melewati siswa-siswa yang terheran-heran, buah dadanya tanpak bergoyang-goyang, dan rok mininya makin terangkat ke atas.
Akhirnya mereka berdua sampai di depan kantor Toni. Ia mendorong Alda masuk dan mengunci pintunya setlah mereka masuk ke dalam kantor Toni. Alda memandangi seisi kantor itu. Kantor Toni lebih mirip kantor seorang eksekutif daripada sebuah kantor kepala sekolah. Lantainya dilapisi karpet, dilengkapi dengan sofa dan meja kerja yang sangat besar. Tapi Alda tidak sempat mengagumi kemewahan kantor Toni. Matanya terpaku pada sebuah benda yang terletak di tengah ruangan, bentuknya mirip dengan kuda-kuda pelana yang digunakan di olahraga senam, denga lebar sekitar 50 senti dan panjang sekitar 150 senti dengan kaki-kai dari besi. Sebelum Alda sempat menerka kegunaan dari benda tersebut, Toni sudah memegang pundaknya dan mendorongnya jatuh ke atas kuda-kuda itu. Segera setelah Alda jatuh tertelungkup, Toni mengikat tangan dan kaki Alda ke kaki kuda-kuda itu. Dalam waktu singkat Alda terikat erat dengan tangan dan kaki terikat dan kepala tergantung dipinggiran kuda-kuda, bernafas dengan sesak karena tubuhnya terikat erat di kuda-kuda itu. Toni kemudian menarik dildo dari vagina Alda keras-keras, menyebabkan Alda menjerit.
"Nah Alda, kamu pikir kamu benar-benar akan sekolah di sini?"
Toni tersenyum pada Alda yang memandangnya dari kuda-kuda.
"Tentu saja, dan asal Bapak tahu, saya akan melaporkan ini pada papa saya biar dia me.." Alda menjerit lagi ketika ikat pinggang Toni memukul bagian belakang tubuhnya meninggalkan bekas berwarna merah.
"Wah, Alda, jangan naif begitu. Kamu kan anak yang pintar."
CTAAR
"Saya teman papa kamu. Dan dia tahu semua rencana saya buat kamu."
CTAAR
Setiap kali ikat pinggang itu memukul tubuhnya, Alda menjerit dan meronta, berusaha melepaskan dirinya dari pukulan-pukulan di punggung dan pantatnya. Tapi itu tak berhasil karena ikatannya terlalu kuat.
"Saya membantu dirinya dalam bisnis. Dan sebagai balasannya saya bisa memakai kamu buat hobi saya."
CTAAR
"Kamu mengerti Alda?"
Alda tidak menjawab, air matanya mulai mengalir ke pipinya. Alda sangat ingin melindungi punggung dan pantatnya dengan kedua tangannya, tapi semuanya terikat begitu erat.
CTAAR
CTAAR
"Kamu belum menjawab Alda. Kamu adalah milik papa kamu, tapi selama di sekolah kamu adalah mainan saya. Mengerti?"
CTAAR
"Ayo Alda, bilang kalau kamu adalah mainan saya!"
Alda menggelengkan kepalanya keras-keras, mempertahankan harga dirinya. Ia tidak sudi mengakui bahwa dirinya adalah mainan dari laki-laki bejat itu. Ia tidak bisa mempercayai ayahnya telah menyerahkan dirinya untuk bisa dinikmati oleh Toni. Alda bertekad tidak akan mengucapkan apa yang ingin didengar oleh Toni.
"Saya masih punya banyak waktu Alda."
Punggung Alda mulai berubah warna dari merah ke ungu. Toni bangga melihat hasil kerjanya. Ia cukup berhati-hati untuk tidak terlalu sering memukul di satu tempat. Ia ingin membuat seluruh bagian belakang tubuh Alda dari punggung hingga pahanya berubah ungu ketika ia selesai nanti. Alda tentu bisa beristirahat sejenak nanti. Toni tidak ingin membuat Alda pingsan. Itu bisa merusak kesenangannya.
CTAAR
"Kamu mainan siapa Alda. Bilang!"
CTAAR
Alda meronta-ronta sambil mejerit keras. Rasa sakitnya tak tertahankan, tubuhnya menggeliat dalam ikatan. Tapi tidak cukup untuk menghindari setiap pukulan.
CTAAR
Alda mendengar Toni menekan tombol telepon di mejanya. Sebelum Alda menyadari ia bisa berteriak minta tolong, Toni sudah terlebih dahulu menyampaikan pesan ke sekertarisnya untuk menahan semua telepon untuk hari ini. Alda lemas dan putus asa.
Toni kembali tersenyum lebar, melepaskan ikatan Alda memutar tubuhnya sehingga berbaring terlentang dan mengikatnya lagi.
"Kita coba apa kita bisa bikin bagian depan kamu seindah yang di belakang."
Alda menjerit dan pukulan-pukulan itu berlanjut.
Satu jam kemudian, Toni berhenti untuk membalikan lagi tubuh Alda hingga tertelungkup lagi, dan memberinya waktu untuk beristirahat. Toni meletakan ikat pinggangnya dan berlutut di depan wajah Alda, mengamati wajahnya yang basah karena air mata. Toni menyibakan rambut dari wajah Alda, mengusapnya.
"Kamu bisa istirahat sebentar Alda."
Alda tetap diam tak menjawab, tapi Toni melihat sinar kelegaan di mata Alda. Toni berdiri dan mengambil sesuatu dari mejanya. "Saya suka sekali dengan lilin ini Alda." Alda memandangi sebuah lilin berukuran besar, tidak mengerti apa yang akan dilakukan Toni dengan lilin itu, dan ia tertalu lemah untuk meronta lagi. Toni menyalakan lilin itu dan menyeringai sadis pada Alda.
"Jangan kuatir Alda, saya cuma mau menambahkan sedikit warna pada karya seni saya." Alda merasakan tetesan lilin jatuh ke punggungnya. Matanya terbelalak dan tubuhnya yang lemah lunglai menegang karena kesakitan.
"Saya akan melapisi memar-memar kamu dengan lilin ini Alda. Kamu akan tampak indah sekali."
Akhirnya Alda bisa berteriak lagi.
"Jangaaaaan"
Setiap kali sebuah memar tertutup oleh lilin, Toni akan langsung pindah ke memar yang lain, membuat Alda terus menjerit dan meronta karena sakit yangmenyerang bagian belakang punggungnya.
"Jangan, jangan, baik pak, saya bilang apa yang bapak mau, saya mainan bapak, saya mainan bapak. Saya mainan bapak, sakit sekali pak, saya sudah bilang pak, saya mainan bapak. Saya mohon berhenti pak, sakit!"
Toni menjawab,"Wah agak terlambat Alda. Saya sedang mewarnai tubuh kamu sekarang. Indah sekali, sayang kamu tidak bisa lihat." Selama setengah jam berikutnya, Toni melanjutkan kerjanya menetesi setiap memar Alda dengan lilin, perlahan dan hati-hati. Akhirnya setiap memar Alda mulat dari punggung hingga paha tertutp oleh lilih merah. Alda merintih perlahan, tenggorokannya sakit karena terus menjerit selama setengah jam. Toni berdiri dan mengagumi hasil karyanya. Alda sangat cantik. Sangat manis. Buah dadanya bergoyang setiap kali ia menarik nafas, dan pahanya gemetar. Toni terus memandangi tubuh Alda selama beberapa saat. Kemudian ia memutuskan untuk memberi perhatian pada penisnya yang telah tegang sedari tadi.
"Oh, Alda kamu betul-betul inda. Saya sangat ingin kamu bisa melihat semuanya."
Alda mengerang dan terengah-engah. "Saya benci bapak. Saya benci bapak!"
Toni hanya tersenyum.
"Alda, kamu harus bisa mengendalikan diri kamu. Saya tadi bermaksud membuat kamu orgasme hari ini. Tapi kelihatannya itu harus menunggu dulu. Nah, apa papa kamu pernah pakai pantat kamu?"
"Belum." jawab Alda ketus.
"Alda sayang, kamu tidak membantu diri kamu kalau bersikap demikian." Alda mendengar Toni menurunkan resleting celananya dan melepaskannya. Alda kembali mengerang, walaupun semua lilin di belakang tubuhnya telah mengeras tapi rasa sakit masih terasa sekali. Ikatan Toni ,membuat dirinya sesak nafas dan tangan dan kakinya terasa sakit terikat begitu erat."
"Ya Allah, apa yang bapak lakukan?"
Toni sedang berlutut dan membuka belahan pantatnya. Kemudian ia menjilati lubang anus Alda dengan lidahnya
"Membuat kamu basah Alda. Jangan mengeluh."
Alda mengerang. Toni memasukan jari tengahnya ke vagina Alda dan meraba-raba clitorisnya dengan ibu jarinya, sementara lidahnya terus menjilati liang anus Alda. Kembali rasa nikmat perlahan bangkit dari vagina Alda.
"Tubuh kamu ternyata tidak benci saya Alda."
"Saya benci bapak"
"Sssttt…"
Jari Toni makin cepat bergerak keluar masuk, begitu juga rabaan ibu jarinya. Alda tanpa sadar mulai bergerak-gerak mengikuti irama gerakan jari Toni, erangannya makin lama makin cepat dan keras.
"Masih benci saya Alda?"
"Sa…sa…saya ben.. benci… bapak. Jang…jangan… ooohh, ya Allah… oooh, ya Allah…"
Toni mengeluarkan jarinya.
"Jangan, jangan berhenti."
Alda menyerah dan menyadari apa yang baru saja dikatakannya, membuat mukanya memerah.
"Siap Alda?"
Toni mulai mendorong penisnya yang sudah menempel di liang anus Alda. Toni merasakan tubuh Alda berusaha mendorongnya menjauh, tapi itu malah membuatnya makin mudah masuk ke dalam anus Alda.
"Jangan, jangan, jangan di situ. Ya Allah, sakiiitt. Sakiittt!" Toni tidak bisa lagi menahan diri, mendorong seluruh penisnya masuk ke dalam anus Alda. Tubuh Alda meronta, berusaha menendang tubuh Toni denga kakinya. Toni merasakan otot kaki Alda menegang. Membuatnya makin bernafsu.
"Bagaimana rasanya Alda?"
Alda mengerang, berusaha membiasakan anusnya dengan benda besar yang masuk ke dalamnya. Toni memejamkan matanya, menikmati gerakan otot-otot anus Alda bergerak memijat. Toni menghela nafas dan menindih punggung Alda. "Alda yang manis, kita betul-betul senang bukan? Pikir saja, masih ada waktu skeitar tiga jam sebelum sekolah bubar, tapi kamu sudah memberika begitu banyak kenikmatan buat saya. Kamu bangga bukan?"
Alda megap-megap, berat badan Toni membuat dirinya makin sulit bernafas. Ia mengeluarkan rintihan.
"Pak… saya tidak bisa bernafas pak, sakit pak, sakit."
"Kenapa Alda? Sini saya bantu kamu."
Toni mengambil lagi dildo milik ayah Alda. Kembali ia memasukan dildo itu ke vagina Alda tanpa menghiraukan rintih kesakitan Alda. Ketika semuanya telah masuk, Toni meletakan dasar dildo itu di kuda-kuda sehingga berat tubuh Alda menahannya untuk tidak keluar, dan batang dildo itu tepat menggosok clitoris Alda setip kali pinggul Alda bergerak. Alda makin megap-megap, dildo yang baru saja dimasukan ke vaginanya membuatnya makin sukar bernafas.
"…tidak…bisa…nafas…sakit…"
Toni tetap menindihnya, dengan penis masuk seluruhnya ke vagina Alda. Ia tetap menindih Alda tanpa bergerak maju mundur.
"…sakit…"
"Buat saya orgasme Alda, kamu masih punya waktu tiga jam. Saya tidak akan bergerak sedikitpun."
"…tidak bisa…jangan…tidak bisa…nafas…saya…"
Toni makin menindih Alda dengan seluruh berat tubuhnya. Toni merasakan tubuh Alda yang hangat, sedang gemetar kesakitan, berusaha bernafas. Penisnya kembali merasakan pijatan otot anus Alda.
"Saya belum mulai nih Alda. Ayo gerakan pantat kamu, atau kamu bisa pulang terlambat nanti. Papa kamu bisa marah besar."
"…jangan…ya Allah…tolong saya…"
Toni mengerang, Alda dalam keadaan terikat erat mulai berusaha menggerakan pantatnya. Pantat Alda tidak bisa banyak bergerak, paling-paling hanya sedikit kekiri dan ke kanan, sementara otot-otot anusnya menegang dan melemas memijati penis Toni. "Kamu sungguh cantik Alda. Rasanya nikmat sekali. Kamu juga merasa nikmat juga kan?"
Toni tertawa kecil, sementara Alda hanya merintih memelas, kakinya mulai letih berusaha menggerakan pantatnya sedari tadi. Untuk lebih menyiksa Alda, Toni sesekali mendorong tubuh Alda, sehingga dildo yan ada di vagina Alda terdorong-dorong dan bergesekan dengan clitoris Alda. Dan setiap kali rasa nikmat itu timbul di clitorisnya Alda kehilangan irama gerakan pantatnya, dan penis Toni mulai mengecil lagi, sehingga kembali Alda dengan tangis putus asa berusaha bergerak berirama lagi berusaha memuaskan Toni.
"Kamu capek ya Alda? Tapi saya tidak tuh, saya masih kuat sekitar 4 atau lima jam lagi kalau begini terus. Gila, nikmat sekali Alda, dan saya tidak usah bergerak sedikitpun!" Alda mendengaus dan berusaha menggerakan pinggulnya lebih cepat, berusaha membuat Toni mencapai orgasme secepatnya, dengan harapan ia bisa segera dibebaskan. Tapi semakin cepat Ald abergerak, semakin sering pula dildo di vagina bergesekan dengan clitoris Alda, membuat Alda kembali merasakan nikmat dan membuatnya kehilangan irama gerakan dan kembali penis Toni mengecil.
Air mata terus jatuh di pipi Alda. Alda sangat ingin melepaskan diri, dan ia sangat ingin merasakan orgasme yang sedari tadi tertunda. Alda menggigit bibirnya dan berusaha berkonsentrasi, mulai lagi bergerak berusaha membuat Toni mencapai puncak kenikmatan.
Tapi Toni sendiri selalu berusaha menahan orgasmenya. Ia hampir mencapai puncak beberapa kali, tapi ditahannya hingga Alda kehilangan irama gerakannya. Toni tersenyum, dan kembali mengerang. Ia memejamkan mata merasakan pinggul Alda kembali bergerak-gerak.
"Terus Alda. Kamu betul-betul sempit, gimana rasanya punya saya di pantat kamu? Besar bukan? Atau kamu mau saya keluarin?"
Alda mengangguk-angguk cepat.
PLAAK
"Kamu nakal Alda. Kamu musti bilang pada setiap laki-laki kalau kamu suka sama penis mereka. Karena itu kamu musti saya hukum lagi."
Toni sekarang mulai memukuli belahan pantat kiri dan kanan Alda, setiap kali pinggul Alda bergerak. Setiap pantat Alda mengejang kesakitan, rasa nikmat kembali mengalir di penis Toni. Toni memutuskan untuk terus memukuli Alda sampai ia orgasme, paling-paling Alda tidak bisa duduk untuk beberapa minggu.
PLAAK
PLAAK
"Ampuun, ya Allah, tolong hamba..ya Allah…"
PLAAK
PLAAK
"Lebih cepat Alda, rasanya nikmat sekali. Mungkin saya bisa orgasme sebentar lagi."
PLAAK
PLAAK
"Sakiiit, ya Allah, Alllah. Saya..saya…keluar…keluar…ooohhh. Jangan, jangan mengecil, jangan…!"
PLAAK
PLAAK
"Hampir saja keluar Alda, tapi kamu nggak bisa menahan diri kamu sih!"
PLAAK
PLAAK
"Ampuun, sakiit! Brenti pak! Sakiit!"
PLAAK
PLAAK
"Brenti! Saya mohon, ya Allah!"
PLAAK
PLAAK
"Puasin saya Alda. Cepat!"
PLAAK
PLAAK
"Saya tidak…bisa gerak…"
PLAAK
PLAAK
"…kalau saya…dipukuli terus. Sakiiitt!"
PLAAK
PLAAK
"Aaahhhh Alda, kamu cantik sekali. Pantat kamu indah sekali. Aaaahhhh, kamu milik saya Alda, dan akan saya pakai kamu setiap hari, eeehhhhggg, aaaahhhhhh. Selamanya, selamanya!" sambil mengerang dan berteriak, akhirnya Toni mencapai orgasme, dan menyemprotkan spermanya ke dalam anus Alda, sementara tubuh Toni bergetar dan menggelinjang nikmat. Setelah selesai, Toni langsung mencabut dildo dari vagina Alda, agar Alda sendiri tidak bisa mencapai orgasme yang sedari tadi diinginkannya, membuat Alda merintih. Toni kemudian berbaring menindih punggung Alda, dan mendengarkan tangis Alda, sementara ia sendiri berusaha memulihkan tenaganya setelah orgasme tadi. Setelah beberapa menit Toni berdiri dan memandangi tubuh lemah yang indah di depannya. Alda masih terikat erat di atas kuda-kuda, tubuhnya basah karena keringat, rambutnya menutupi wajahnya, dan punggung serta pantatnya memar-memar keunguan. Ia melihat tangan dan kaki Alda juga membiru karena Alda berusaha melepaskan diri tadi.
"Masih ada setengah jam sebelum bel pulang Alda. Masih kuat?" Toni tersenyum dan berlutut di belakang Alda, kemudian mulai memasukan lidahnya di vagina Alda. Toni memutar-mutarkan lidahnya di bibir vagina Alda, sambil memasukan ujung lidahnya ke vagina Alda. Kemudian Toni menjilati clitoris Alda dan mengulumnya sesekali, denga lembut dan perlahan. Alda dengan segera, kembali mengerang dan menggerakan pinggulnya dengan cepat. Toni kemudian menarik lidahnya, menunggu gerakan Alda berhenti dan pinggulnya tak bergerak lagi.
"Pak, saya mau keluar pak. Saya ingin sekali, saya mohon pak."
"Saya mengerti Alda, itulah indahnya!" Toni menunggu sampai Alda berhenti memohon-mohon dan terdiam.
Kemudian kembali ia menjilati vagina Alda. Alda hanya bisa kembali menangis.
Ketika pintu ruang kepala sekolah menutup di belakangnya Alda mulai berjalan perlahan dan ragu-ragu, merasa sangat malu dan masih menangis. Puting susunya sekarang dijepit oleh sepasang jepitan buaya, tanpa tertutup oleh apapun. Dan dildo di dalam vagina, semakin sulit dijaga agar tetap berada di dalam vaginanya, vagina sudah sangat basah, dan setiap kali Alda melangkah, dildo itu ikut terdorong keluar. Dan Alda tidak bisa berbuat apapun, walaupun hanya untuk menurunkan rok mininya yang terangkat sampai pinggang, karena kedua tanganya terborgol ke belakang. Setelah keluar dari gedung, dan melangkah ke halam sekolah, Alda merasa ketakutan menyadari seluruh siswa perempuan sudah pulang dan di halaman sekolah itu berkumpul siswa laki-laki sekolah tersebut. Seluruh kegiatan mereka berhenti ketika Alda mulai melangkah menyeberangi halaman dengan kaki gemetar dan kepala menunduk. Perlahan Alda menyeberangi halaman itu, yang terdengar hanya hak sepatunya yang beradu dengan lantai beton halaman itu. Alda menyadari, bahwa ia harus melewati sekelompok siswa untuk bisa keluar dari sekolah itu. Dan mereka dengan sengaja menghadang jalannya setelah Alda semakin mendekati mereka. Ketika semakin dekat mereka tetap diam, tapi salah satu dari mereka mengulurkan tangannya dan menarik jepitan buaya yang ada di puting susu Alda.
Alda menjerit kesakitan, tapi segera siswa kedua kembali menarik jepitan yang lain, menyusul yang ketiga. Rasa sakit yang menyerang membuat Alda jatuh terduduk. Sekarang ia merasakan seseorang di belakangnya mulai mengigiti leher dan bahunya. Alda berusaha melepaskan diri, tapi dengan tang terborgol di belakang, usahanya sia-sia.
Ia merasakan sepasang tangan mendorongnya agar terbaring terlentang. Dua orang meraih kakinya dan meraba-rabanya sambil membukanya lebar-lebar memeganginya. Dari sudut matanya Alda melihat selusin siswa mengelilinginya dan Alda mulai ketakutan. Alda kembali berusaha memberontak, tapi salah siswa itu dengan mudah mendorongnya jatuh kembali ke tanah. Empat siswa memegangi tangan dan kakinya, sementara kepalanya ada di pangkuan siswa, sementara tiga dari empat siswa tadi sibuk mempermainkan jepitan buaya di puting susunya, menyebabkan Alda menjerit-jerit kesakitan lagi. Sisa-siswa itu semua diam tidak berbicara sedikitpun.
Siswa yang tidak memegangi tubuhnya mulai melepaskan celana panjang dan celana dalam mereka. Dengan segera Alda dikelilingi oleh dua belas sampai lima belas siswa yang sudah sangat bernafsu, penis mereka sudah mengacung tegang. Ia menjerit, tapi dengan segera teriakannya diredam oleh siswa hitam berambut ikal yang berjongkok dekat wajahnya dan memasukan penisnya ke dalam mulut Alda. Setelah disiksa oleh penis ayahnya malam itu, Alda mulai bisa menerima penis itu tanpa tersedak, tapi siswa itu mendorong penisnya masuk ke dalam tenggorokannya dan membuat Alda tidak bisa bernafas lagi. Alda meronta-ronta, berusaha mengeluarkan penis itu, tapi tangan siswa itu memegangi tangannya dan mendorong penisnya semakin masuk ke dalam tenggorokan Alda. Alda yang panik, berhenti meronta biarpun dirinya terus disakiti.
Siswa yang lain, berbadan kekar menindih Alda dan memasuki dirinya. Semuanya masih diam membisu dan Alda merasa dirinya berada di sebuah mimpi buruk. Mata Alda berusaha mencari wajah-wajah simpati yang ingin menolongnya tapi yang ia temukan adalah wajah-wajah menyeringai tidak sabar menunggu giliran mereka. Dengan penis di dalam tenggorokannya Alda tidak bisa mengeluarkan rintihan kecil sekalipun. Sama dengan ayahnya, siswa hitam tadi menunggu hingga Alda hampir pingsan sebelum menarik penisnya keluar. Kemudian ia mulai menggerakan penisnya di mulut Alda dengan berirama keluar masuk perlahan. Alda dengan segera berusaha membuat siswa itu orgasme sehingga ia cepat-cepat mengeluarkan penisnya dari mulut Alda. Tapi Alda semakin sulit berkonsentrasi karena vagina kembali merasakan rasa nikmat. Clitorisnya mulai menyebarkan rasa nikmat yang sangat ditunggu Alda. Alda berusaha menggerakan pinggulnya berharap clitorisnya bisa bergesekan dengan penis siswa yang sedang memeprkosanya tapi dengan kaki dan tangan serta tubuh dipegangi dan ditindih, Alda tidak bisa bergerak dengan bebas. Ia berusaha membujuk mereka agar mereka mau membuatnya mencapai orgasme sekali itu, tapi yang keluar hanya suara gumam tidak jelas karena penis siswa hitam tadi masih ada di mulutnya. Ketika akhirnya siswa hitam tadi memuntahkan spermanya, segera ia digantikan oleh temannya. Alda terus berusaha membujuk mereka tapi erangannya hanya membuat dirinya semakin erat dipegangi oleh mereka. Siswa yang baru itu jug amembaut mulut Alda tidak bisa mengeluarkan suara, dan Alda akhirnya dengan putus asa berusaha mengosokan clitorisnya pada batang penis yang masih bergerak keluar masuk di vaginanya, tapi dirinya semakin erat dipegangi, membuat semakin sulit bergerak. Ketika siswa bertubuh kekar itu selesai orgasme, ia digantikan oleh siswa berambut merah, yang langsung mulai memperkosanya, dan ia mengosok-gosok clitoris Alda dengan penisnya. Alda mengerang nikmat menikmati rasa nikmat yang perlahan mulai menguasai tubuhnya dan kahirnya ketika akan mencapai puncaknya, siswa tadi menarik penisnya keluar sambil tersenyum. Ternyata mereka tahu, mereka mempermainkan orgasme Alda. Kemudian siswa tadi kembali memasukan penisnya dan mulai bergerak, ketika ia melihat tubuh Alda bergetar, mata Alda yang terbelalak, serta nafasnya yang semakin cepat dan hampir mencapai puncak, ia kembali menarik penisnya keluar. Alda hampir gila dipermainkan demikian, matanya memohon-mohon, ia merintih dan memelas, tapi siswa tadi tetap membawanya mendekati puncak kenikmatan dan berhenti.
Selama dua puluh menit siswa berambut merah tadi terus memperkosanya. Sampai akhirnya dengan nafas terengah-engah ia mengerang dan menyemburkan spermanya ke dalam vagina Alda. Alda menangis, ia hampir gila menantikan orgasme bagi dirinya sendiri. Sebagian besar dari siswa tadi menyangka Alda menangis diperkosa oleh mereka. Si rambut merah meperkosa Alda dua kali lagi setelah itu, dan ia terus mempermainkan orgasme Alda. Sebelas siswa lainnya bergantian memperkosanya sebanyak dua puluh enam kali, menggunakan mulut dan vagina Alda bergantian. Ketika mereka selesai, tanpa berkata apa-apa mereka meninggalkan Alda yang lemah lunglai terbaring dan menangis di tanah.
Alda benar-benar putus asa. Dengan dua belas siswa dan dua puluh enam kali ia diperkosa, dirinya masih belum dapat mencapai orgasme. Vagina terasa sakit dan nyeri, ketika ia mencoba menggosoknya. Alda mencoba mengosokan clitorisnya ke tanah, tapi tidak berhasil. Satu pikiran memndorongnya bangkit berdiri perlaha. Ia harus segera pulang dan memohon pada ayahnya agar membuatnya orgasme. Alda sangat berharap ayahnya mau mengabulkan permohonannya itu, sembari berjalan sempoyongan dengan tangan terborgol dan mata sembab menuju rumahnya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar